ANALISIS WACANA KRITIS KHOTBAH JUMAT “MEMBINA GENERASI MUDA MENATAP MASA DEPAN GEMILANG” DALAM MAJALAH MUHAMMADIYAH
Anwar
Abstrak:
Wacana khotbah dapat dibahas dengan analisis wacana kritis. Analisis wacana
kritis (AWK) merupakan tipe analisis untuk mengungkapkan ideologi, kekuasaan,
sikap politik. Dalam kaitan ini, analisis wacana kritis digunakan untuk
mengungkapkan sikap, bahasa yang digunakan Muballig Muhammadiyah. Sikap dan dan
bahasa Muballig tersebut dilihat dari bahasa
yang digunakannya dalam khotbah pada majalah Muhammadiyah, yaitu sebuah
majalah yang diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jln. KH. Ahmad
Dahlan No. 43 Yogyakarta. Wacana khotbah pada majalah Suara Muhammadiyah ini
menarik dianalisis karena sikap dan bahasa Mubalig Muhammadiyah memiliki
pengaruh langsung dan berdampak besar terhadap perkembangan kehidupan beragama,
lebih khusus pada kalangan muslim. Disamping itu, Organisasi Muhammadiyah
dikenal sebagai salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia setelah NU.
Sehingga cukup representatif menurut penulis untuk menjadikannya sebagai objek
penelitian terutama yang berkenan dengan khutbah jumat dari para muballignya. Pemilihan
wacana khotbah di dalamnya terdapat ungkapan yang mengandung makna simbolik,
atau pilihan kata yang perlu ditafsirkan lagi, baik menyangkut hal-hal yang
positif atau negatif. Salah satu wacana tersebut
adalah khotbah dengan judul “Membina Generasi Muda Menatap Masa Depan
Gemilang.”
Kata Kunci:
wacana khotbah, sikap dan bahasa, Muballig Muhammadiyah
Analisis
wacana kritis dapat dipandang sebagai reaksi terhadap dominasi
paradigma formal. Dalam kaitan ini para analis
berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan wacana merupakan bagian yang
berpengaruh oleh struktur sosial dan dihasilkan dalam interaksi sosial.
Hubungan ilmu pengetahuan dan wacana perlu dipelajari. Kemudian,
praktek-praktek ilmiah perlu disadari, pandangan seperti itu dalam hal ini para
analis wacana dapat dikatakan harus melaksanakan penelitian dengan bekerja sama
dan merasakan adanya solidaritas dengan kelompok-kelompok yang didominasi oleh
kelompok lain.
Fairclough (1995) menggunakan
analisis wacana untuk menelaah masalah-masalah sosial. Wacana terbagi dua,
yaitu: wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan berbentuk komunikasi verbal
antar persona, sedangkan wacana tulis ditampilkan dalam bentuk teks. Wacana
harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses,
sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat
dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan.
Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses
komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Van Dijk (1998) mengulas tentang
analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi
komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh
kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya.
Dalam paradigma kritis, individu tidak
dipandang sebagai subjek yang netral yang dapat ditafsirkan sesuai dengan
pikirannya. Hal itu dipengaruhi oleh kekuatan
sosial masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Bahasa merupakan
paradigma kritis yang dapat dipahami sebagai representasi yang berperan
membentuk subjek tertentu dengan tema dan strategi tertentu pula. Oleh karena
itu, analisis wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada dalam setiap proses
bahasa. Batasan-batasan dalam bahasa diperkenankan menjadi wacana representasi
dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Fairclough, 1997 karakteristik penting yang berhubungan erat dengan
analisis wacana kritis, antara lain: tindakan,
konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Karakteristik pertama adalah
tindakan, yang dipahami sebagai bentuk interaksi yang berhubungan dengan orang
lain yang memiliki tujuan dan diekspresikan secara sadar melalui teks.
Hal yang merupakan tindakan dapat
dilihat dalam kutipan (1) wacana khotbah Suara Muhammadiyah berikut:
(1) Generasi
muda yang kita harapkan dan kita banggakan merupakan tanggung jawab kita,
jangan sampai mengalami masa yang gelap dan kelam. Kaum muslimin sebenarnya
tidak sedikit jumlahnya yang terpelajar sejak zaman yang silam.
Kutipan tersebut merupakan tindakan
menggugah hati publik lewat wacana khotbah Jum’at dan mengharapkan perubahan perilaku
kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslimin mempunyai potensi sejak zaman
dahulu dalam mengembangkan diri secara individu dan dalam bentuk komunitas.
Perintah mengubah sikap dan perilaku manusia tertuang dalam Al Qur’an, dan
diteruskan secara sadar dan bijak oleh para Muballig lewat wacana khotbah untuk
beriteraksi dengan jamaah atau orang lain.
Karakteristik kedua adalah konteks,
dipahami dan dipakai untuk tujuan tertentu secara praktis. Pemaknaan teks dan
konteks dilakukan secara bersama-sama. Menurut Cook, 1989. semua situasi yang
berada di luar teks mempengaruhi pemakaian
bahasa, seperti persisipan dalam bahasa, situasi ketika teks diproduksi,
dan fungsi yang dimaksudkan dalam teks tersebut. Aspek konteks sangat penting
untuk memahami teks, sebab dengan hanya memaknai struktur teks sudah barang
tentu analis akan mengalami kesulitan menemukan makna yang sebenarnya.
Fakta tersebut dapat dilihat dalam
kutipan (2) wacan khotbah Suara
Muhammadiyah berikut:
(2)Arus
globalisasi tanpa batas waktu dan wilayah, telah menembus dan merayap ke
seluruh pondok reot dan gedung-gedung mewah. Batas deras dan dahsyatnya desakan
arus globalisasi, sehingga terasa membutakan mata hati terhadap kehidupan
Islami.
Kutipan tersebut merupakan bentuk
analisa struktur teks yang dihubungkan dengan situasi lingkungan kehidupan
Islam (konteks). Bahwa situasi lingkungan kehidupan Islam membuka cakrawala
berpikir dan menghubungkan skemata analis adanya keterhubungan antara teks dan
konteks. Konteks kehidupan umat Muslim sekarang yang dilandah arus globalisasi hingga
ke pelosok tanah air menjadi keprihatinan kalangan Muballig jikalau arus ini
mempengaruhi pilosofi kehidupan Islami.
Karakteristik ketiga adalah historis,
yang digunakan dalam AWK untuk menginterpretasi wacana. Menurut Eriyanto
(2003), pemahaman teks wacana hanya akan diperoleh apabila penganalisis dapat
memberikan konteks historis. Dalam konteks historis akan tampak bagaimana teks
dihasilkan. Dengan mengetahui situasi tertentu yang ada pada teks ketika
dihasilkan sangat besar perannya dalam memaknai sebuah teks.
Fakta tersebut tergambar dalam kutipan
(3) wacana khotbah Suara Muhammadiyah
berikut:
(3)“Kaum Muslimin sebenarnya tidak sedikit
jumlahnya yang terpelajar sejak zaman yang silam.”
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa
secara historis kaum Muslimin sejak zaman silam telah berjaya dalam bidang ilmu
pengetahuan. Kaum Muslim sejak dahulu taat dalam menjalankan perintah agama.
Berbeda halnya saat ini telah berkurang jumlahnya sosok manusia yang peka serta
arif dalam menyikapi masalah besar yang silih berganti persoalan umat. Maka,
sebenarnya otak atau rasio semata tidak selamanya dapat memecahkan problem
umat, kecuali didukung oleh kecerdasan rohani yang telah mengalami penggemblengan
dengan siyam (puasa) sejak dahulu.
Karakteristik keempat adalah
kekuasaan, yang tidak memandang wacana hanya sesuatu yang terjadi secara
alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan.
Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan
masyarakat. AWK tidak membatasi diri pada detil teks atau struktur wacana saja,
tetapi juga memperhitungkan dan menghubungkan dengan kekuasaan dan kondisi
sosial, politik, ekonomi, dan sosial budaya tertentu.
Pada wacana tersebut tergambar adanya
bentuk kekuasaan Allah terhadap manusia selaku hambanya. Allah selaku Khalik
penguasa alam dan segala isinya, tak satu ciptaan pun dapat membantahnya. Fakta
itu tergambar dalam kutipan wacana khotbah majalah Suara Muhammadiyah berikut:
(4)“Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah,
penguasa seluruh alam.”
Kutipan tersebut memberikan keterangan
tentang kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Jagat raya dan seluruh isinya
merupakan ciptaan-Nya dan dalam genggaman kekuasaannya. Seluruh alam dan isinya
termasuk manusia adalah ciptaan yang harus tunduk dan patuh kepada Allah swt.
Bentuk kekuasaan Allah ini diteruskan oleh Muballig lewat teks yang ingin
menguasai hati dan pikiran kaum Muslim untuk tetap tunduk dan patuh kepada
Allah. Muballig menginginkan adanya keteguhan hati kaum Muslim dalam
mempertahankan iman (kepercayaan kepada Allah). Kutipan di atas menanamkan
bentuk kekuasaan dan manusia sebagai makhluk lemah.
Fairclough (1995) memandang bahasa
sebagai praktik kekuasaan. Bahasa mengandung nilai ideologi tertentu dan dapat
dianalisis secara menyeluruh. Nilai ideologis dalam kekuasaan dapat berbentuk
kekuasaan dalam wacana. Senada dengan pandangan itu, Kartomihardjo (dalam
Purwo, 2000) menyatakan bahwa bahasa kekuasaan atau bahasa yang menampilkan
adanya kekuasaan terdapat dalam berbagai wacana, baik yang digunakan secara
terang-terangan maupun digunakan secara terselubung.
Karakteristik kelima adalah ideologi.
Menurut van Dijk (1997), ideologi dalam waacana dimaksudkan untuk mengatur
masalah tindakan dan praktik individu atau kelompok. Ideologi membuat
anggota kelompok akan bertindak dalam
situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan
konstribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi dalam kelompok.
Fakta tersebut dapat dilihat dalam
kutipan (5) wacana Suara Muhammadiyah 16-28 Februari 2010 sebagai berikut:
(5)Akhir-akhir
ini kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak sudah meningkat semakin baik.
Mereka berusaha mencari biaya sekolah merupakan prioritas pertama setelah makan
dan minum. Soal keperluan pakaian, hiburan/plesir (rekreasi) tidak terlintas.
Kebutuhan perkakas rumah tangga juga alat-alat yang sudah usang dan seadanya
tetap dipakai asal urusan sekolah dapat terpenuhi lebih dulu.
Kutipan di atas menggambarkan begitu
perhatian publik terhadap pentingnya pendidikan menurut mereka, sehingga
menjadikan pendidikan sebagai prioritas
utama, sementara kebutuhan lain menjadi urutan prioritas berikutnya. Mereka
bertindak pada situasi yang sama dalam bentuk solidaritas umat.
Menurut
Thompson (1984), secara mendasar ideologi berhubungan dengan proses pembenaran
hubungan kekuasaan yang tidak simetris. Penggunaan istilah demikian disebut
konsepsi kritis ideologi. Biasanya penggunaan istilah itu mengandung konotasi
negatif yang selalu mengikat analisa idielogi pada pertanyaan kritis. Lebih
lanjut Thompson (1984), menjelaskan bahwa teori ideologi pada umumnya
menempatkan “makna” dan “ide” yang mempengaruhi konsepsi dan aktivitas individu
atau kelompok yang membentuk dunia sosial. Pada akhirnya terjadilah analisa ideologi
yang difokuskan pada ciri bahasa dan makna pada satu sisi, dan bentuk-bentuk
bahasa diaplikasikan pada teks literal dan interaksi sosial pada sisi lain.
Dengan demikian, AWK dengan menggunakan teori-teori ideologi dapat
menginterpretasikan berbagai tujuan ideologi yang terdapat dalam wacana,
seperti tujuan untuk mempengaruhi, memperoleh dukungan publik, dan
memarjinalkan individu atau kelompok.
Fairclough juga membagi analisis
wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural
practice. Dalam model Fairclough, teks di sini dianalisis secara linguistik,
dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Ia juga memasukkan
koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung
sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai
untuk melihat tiga masalah berikut.
Pertama,
ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin
ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana
sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi membawa muatan ideologi tertentu.
Kedua, relasi merujuk pada analisis
bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah
teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas
merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta
bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan.
Model Fairclough ini dalam analisis
wacana:
A.
Teks
Teks khotbah ini berbicara mengenai “pembinaan
generasi muda masa depan, wacana ini
mengajak masyarakat menjadi insan-insan Muslimin supaya tetep berjalan di atas
rel Islam. Informasi faktual tersebut dapat ditemukan di Suara Muahammadiyah,
16-28 Februari 2010 sebagai berikut:
Kutipan (6):
Hendaknya segala tingkah laku, tutur kata, pola pikir, dan pelbagai aktifitas
manusia berorientasikanlah dengan jalur-jalur ajaran agama Islam meliputi
akidahnya, ibadahnya, muamalahnya, pergaulannya, pernikahannya, makan-minumnya,
berpakaiannya, pendek kata meliputi seluruh gerak-gerik dan tarikan nafasnya
pun hendaklah bersumber dari ajaran Islam.
Kutipan tersebut merupakan suatu ajakan
yang menggugah hati, selaku muballig untuk mempengaruhi simpatisan publik. Pada
akhirnya Muballig itu menginginkan adanya perubahan sikap dan prilaku publik
dalam tatanan kehidupan beragama dan berbangsa pada masa yang akan datang.
Sementara itu memang sebahagian publik belum memiliki keimanan yang sempurna,
perintah salat masih diabaikan, padahal salat merupakan perintah Allah yang
sangat agung. Apalagi berbicara muamalah, etika bergaul, cara makan dan minum
yang benar menurut Islam sebagian publik belum memperhatikan bagaimana yang
sebenarnya.
B. Analisis Discourse
Practice
Discourse practice mengantarai
teks dengan konteks sosial budaya (sosiocultural practice). Artinya
hubungan antara sosialbudaya dengan teks bersifat tidak langsung dan
disambungkan dengan discourse practice. Pada tingkatan discourse
practice. Seperti dikatakan Fairclough (dalam Rohmani, 2003:38)
pertentangan kelas merupakan suatu kebutuhan dan sifat suatu sistem sosial yang
melekat dimana pemaksimalan keuntungan-keuntungan dan kekuasaan kelas
bergantung pada pemaksimalan eksploitasinya dan dominasi dari yang lain. Tergambar dalam kutipan (7) berikut:
(7)Pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah begitu marak dan merata,
sehingga berakibat betapa banyaknya gadis yang layu sebelum mekar, dua tiga
bulan kawin bayinya sudah lahir, sulit untuk dibendung dan dicegah.
C. Sociocultural
Practice
Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi
bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengeruhi bagaimana wacana yang
muncul dalam media. Bagaimana sociocultural
practice ini menentukan teks? Menurut Fairclough, hubungan itu bukan langsung,
tetapi dimediasi oleh discourse practice.
Hal ini sesuai dengan pandangan Fairclough,
bahwa praktik wacana bisa jadi menampilkan afek ideologi yang dapat memproduksi
hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial. Hubungan kelas sosial
itu dapat berupa perbedaan jenis kelamin, kelompok minoritas dan mayoritas, dan kelompok kuat
dengan kelompok yang lemah.
Interpretasi Kekuasaan
Sebab konsep kekuasaan dalam wacana adalah menghubungkan wacana dengan
dengan masyarakat. Pemakaian bahasa yang ditulis wartawan pada dasarnya
bukanlah hanya terbatas pada penulis dan pembaca, tetapi merupakan bagian yang
integral dari kehidupan masyarakat dihubungkan dengan kondisi sosial yang ada,
baik aspek politik, ekonomi, dan budaya tertentu (Eriyanto, 2003).
Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana sangat penting dijadikan
sebagai kontrol. Seseorang atau kelompok
mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Bentuk kontrol lewat wacana
tersebut bisa dalam bentuk kontrol konteks atau struktur wacana. Tergambar
dalam kutipan (8) berikut:
(8)Jamaah Jum’at kaum Muslimin yang dirahmati
Allah, marilah kita bersama-sama mencermati dengan sepenuh hati firman Ilahi
Rabbi.
Kutipan tersebut menggambarkan bahwa sang
Muballig memegang kekuasaan luas
mengajak dan mempengaruhi jamaah untuk berbuat sesuatu, yaitu mencermati firman
Allah swt.
Interpretasi Ideologi
Fairclough, (1995) persoalan ideologi
merupakan unsur utama dari penelitian analisis wacana kritis. Dari segi ideologi
ditemukan beberapa kata, kelompok kata, dan kalimat dalam wacana khotbah “Membina
Generasi Muda Menatap Masa Depan Gemilang,” yang dapat diinterpretasikan secara
jelas dalam teks berikut:
generasi
muda harapan bangsa, pengusul RUU APP adalah kelompok yang memprihatinkan,
pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah marak dan merata, Al-Qur’an sudah
mulai ditinggalka.
Kata-kata dan kelompok kata yang disampaikan
seperti; generasi muda harapan bangsa, pengusul RUU APP adalah kelompok yang
memprihatinkan merupakan bentuk pertarungan bernuangsa politik. Kelompok kata;
pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah marak dan merata, Al-Qur’an sudah
mulai ditinggalkan bernuangsa marjinal.
PENUTUP
Keberadaan muballig di negeri ini
menjadi sosok yang begitu disegani dan menjadi panutan. Penghormatan dari
berbagai kalangan kepada tokoh agama ini bukannya tanpa alasan. Para ustad dengan
kelebihan pengetahuan agama Islam seringkali dilihat sebagai orang yang
senantiasa dapat memahami keagunan Allah swt., dan juga dapat menyibak rahasia
alam. Muballig dengan kelebihan
pengetahuan dan penghayatannya terhadap agama, oleh masyarakat dianggap sebagai
guru pembimbing yang memiliki kemampuan khusus di bidang keagamaan.
Melihat realitas kelebihan muballig
tersebut, sudah barang tentu memiliki kharisma dan pengaruh yang cukup kuat di
masyarakat. Muballig dengan segala kelebihannya serta betapapun kecilnya
lingkup kawasan pengaruhnya, tentulah dapat digolongkan sebagai figur ideal
yang mempunyai kedudukan kultural dan
struktural yang tinggi dalam masyarakat, baik di bidang keagamaan, ekonomi,
sosial, budaya, dan politik.
Hal ini yang menarik penulis
menganalisis teks khotbah tersebut lewat AWK. Wacana Membina Generasi Muda
Menatap Masa Depan Gemilang tersebut penulis menganalisis dengan AWK, dan
secara khusus dari aspek tindakan, konteks, historis, ideologi dan kekuasaan.
DAFTAR PUSTAKA
Eriyanto. 2001.
Analisis Wacana: Pengantar Analisis teks Media. Yogyakarta: LKis.
Suara
Muhammadiyah. 2009. Membina Generasi Muda Menatap Masa Depan Gemilang.
Majalah No.4/Th.ke-94 16-28 Februari, hlm. 31-32.