PENDAHULUAN
Pengertian Linguistik
Kata linguistik (linguistics-Inggris)
berasal dari bahasa Latin “lingua” yang berarti bahasa. Dalam bahasa
Perancis “langage-langue”; Italia “lingua”; Spanyol “lengua”
dan Inggris “language”. Akhiran “ics” dalam linguistics berfungsi
untuk menunjukkan nama sebuah ilmu, yang berarti ilmu tentang bahasa,
sebagaimana istilah economics, physics dan lain-lain.
Menurut
Pringgodigdo dan Hasan Shadili, sebagaimana dikutip oleh Mansoer Pateda,
“linguistik adalah penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan”. Sedangkan AS Hornby membagi kata linguidtics ke
dalam dua kategori, sebagai kata sifat dan kata benda. Linguistics sebagai
kata sifat berarti “the study of language and languages”. Sedangkan linguistics
sebagai kata benda, berarti “the science of language; methods of
learning and studying languages”. Dengan demikian, linguistik menurut AS
Hornby berarti ilmu bahasa atau metode mempelajari bahasa.
Sementara
Ramelan berpendapat bahwa:“Linguistics is the name of a science, just like
economics, physics and mathematics. The term comes from the world ‘language’
which get suffix ‘ics’ to denote the name of science. Linguistics is a
scientific study of language, or science about language Jadi, menurut Ramelan linguistik tidak lain adalah suatu studi
tentang bahasa atau ilmu bahasa.
Sedangkan
Ronald W Langacker (1973) berpendapat bahwa linguistics is the study
of human language. Dari pendapat Langacker ini dapat kita simpulkan bahwa
hanya bahasa manusia lah yang menjadi objek kajian linguistik, sementara
“bahasa hewan atau animal language tidak termasuk wilayah kajian
linguistik.
Dalam literatur
berbahasa Arab istilah fiqh al-lughoh
dan ilm lughoh sering digunakan untuk menyebut ilmu linguistik ini. Namun demikian antara fiqh
al-lughoh dan ilmu al-lughoh sering dibedakan pengertiannya. Emil
Ya’qub menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut berikut ini.
“Ditinjau dari segi pendekatannya, fiqh
al-lughoh mempelajari bahasa disebabkan
karena fungsi bahasa sebagai
media/pengantar untuk mempelajari kebudayaan atau peradaban suatu bangsa.
Sedangkan ilmu al-lughoh mempelajari bahasa karena bahasa itu sendiri
bukan karena fungsinya sebagai penjelas sutau peradaban. Dengan demikian dalam fiqh
al-lughoh bahasa dipelajari sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih
besar yaitu mempelajari peradaban, sementara dalam ilmu al-lughoh bahasa
dipelajari sebagai tujuan atau sebagaimana diungkapkan oleh De Saussure objek
sesungguhnya dan satu-satunya dari ilmu al-lughoh adalah bahasa itu
sendiri.
Cakupan kajian fiqh al-lughoh lebih luas dan menyeluruh karena tujuan akhir fiqh
al-lughoh ini adalah mempelajari budaya dan peradaban serta kehidupan
pemikiran dari berbagai aspeknya. Oleh karena itu, mereka yang menekuni bidang
ini (fuqoha al-lughoh) sering melakukan pengklasifikasian dan pembandingan
bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, penelusuran teks-teks klasik dan
lain-lain dalam rangka mengetahui nilai-nilai kultural terkandung di dalamnya.
Dengan kata lain fiqh al-lughoh bisa dianggap sebagai “tempat berpijak” bagi ilmu
al-lughoh di satu sisi dan ilmu-ilmu budaya dan humaniora pada sisi yang
lain. Berbeda dengan ilmu al-lughoh yang hanya memfokuskan dirinya pada penganalisisan struktur bahasa dan
mendiskripsikannya, sehingga jika ada yang
melebihi kedua hal tersebut, berarti telah mendekati bidang cakupan fiqh
al-lughoh.
Fiqh al-lughoh kalaupun
mempelajari bahasa, pendekatannya lebih bersifat historis-komparatif
(historical comparative), sedangkan Ilmu al-lughoh lebih bersifat
deskriptif-struktural”.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah bahasa Arab yang paling pas untuk menyebut ilmu
linguistik adalah “ilmu al-lughoh”.
Sedangkan fiqh al-lughoh sering digunakan untuk menyebut istilah
philologi yakni ilmu yang mempelajari naskah-naskah klasik ditinjau dari segi
keautentikannya maupun dari segi isi dan kandungannya.
OBJEK LINGUISTIK
Sebagaimana
telah disinggung di atas, bahwa objek kajian linguistik tidak lain adalah
bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai sistim komunikasi yang
menggunakan ujaran sebagai medianya; bahasa keseharian manusia; bahasa yang
dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau
dalam bahasa Inggris disebut dengan an ordinary language atau a
natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language) sebagai obyek
primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek
sekunder linguistik, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan”
bahasa lisan.[1]
Sementara itu, Ferdinand De Saussure (1857-1913),
-seorang ahli linguistik kebangsaan Swiss yang dianggap sebagai bapak
linguistik modern- menegaskan bahwa objek linguistik mencakup “langage, langue
dan parole”. Langage (Inggris; Linguistic disposition) adalah
bahasa pada umumnya, seperti dalam ungkapan “manusia mempunyai bahasa,
sedangkan hewan tidak mempunyai bahasa”. Langue (Inggris; language)
berarti bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia
dan lain-lain. Sedangkan parole (Inggris; speech) berarti logat, ucapan
atau tuturan. Sebenarnya kata Language dalam bahasa Inggris meliputi
baik langage maupun langue dalam bahasa Perancis. Namun demikian,
parole merupakan objek kongkrit linguistik, langue merupakan
objek yang sudah lebih abstrak, sedangkan langage merupakan objek yang
paling abstrak.[2]
Sebenarnya
ada beberapa ilmu yang berhubungan dengan bahasa sebagai objek kajiannya,
antara lain:
- Ilmu
tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa; dan dalam hal
ini bahasa digunakan dalam arti harfiyah. Inilah yang disebut pure
linguistik atau linguistik murni.
- Ilmu-ilmu
tentang bahasa; dan dalam hal ini, istilah bahasa digunakan dalam arti
metaforis atau kiasan. Contoh ilmu yang termasuk kategori ini adalah
kinesik dan paralinguistik. Kinesik adalah ilmu tentang gerak tubuh/kial/
body language, seperti anggukan kepala, isyarat tangan dan lain-lain.
Paralinguistik adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada
aktifitas-aktifitas tertentu yang mengiringi pengucapan bahasa, seperti
desah nafas, decak, ketawa, batuk-batuk kecil, bentuk-bentuk tegun seperti
ehm, anu, apa itu, apa ya dan lain sebagainya.
- Ilmu-ilmu
yang salah satu dasarnya adalah bahasa. Contohnya adalah fonetik,
etnolinguistik, psikolinguistik dan sosiolinguistik. Fonetik mempelajari
salah satu unsur bahasa yaitu bunyi bahasa sebagai objek kajian utamanya.
Etnolinguistik atau antropolinguistik adalah ilmu yang meneliti seluk
beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan dalam
masyarakat tertentu atau ilmu yang mencoba mencari hubungan antara bahasa,
penggunaan bahasa dan kebudayaan pada umumnya. Psikolinguistik mempelajari seluk beluk aneka pemakaian
bahasa dengan perilaku akal budi manusia atau ilmu yang mempelajari bahasa
sebagai akibat latar belakang kejiwaan penutur bahasa. Sosiolinguistik adalah
ilmu yang mempelajari seluk beluk pemakaian bahasa dengan perilaku sosial,
atau ilmu yang mmpelajari hubungan antara aspek sosila dengan kegiatan
berbahasa.
- Ilmu
tentang pendapat-pendapat mengenai bahasa. Contohnya metalinguistik, yakni
ilmu yang membicarakan seluk beluk “bahasa” yang dipakai untuk menerangkan
bahasa yang tercermin dalam istilah studi teori linguistik, studi metode
linguistik dan lain-lain.
- Ilmu-ilmu
mengenai ilmu bahasa. Yang termasuk kategori ini adalah studi-studi yang
mengkhususkan dirinya pada ilmu linguistik itu sendiri, sperti studi
tentang sejarah perjalanan ilmu linguistik, studi linguistik pada abad ke
dua puluh dan lain-lain.
Dari
kelima jenis ilmu tersebut di atas, maka hanya nomor (1) saja yang bisa disebut
sebagai ilmu linguistik yang murni karena objeknya bahasa yang benar-benar
bahasa, sedangkan objek keempat ilmu lainnya bukanlah bahasa dalam pengertian
sehari-hari[3].
Bahasa yang menjadi objek linguistik dipelajari dari berbagai aspeknya atau
tatarannya. Tataran bahasa itu meliputi aspek bunyi, morfem dan kata, frase dan
kalimat serta aspek makna. Cabang linguistik yang mempelajari aspek bunyi
bahasa adalah fonologi. Tataran morfem atau kata dipelajari dalam morfologi.
Tataran frase/kalimat dibahas dalam sintaksis. Sedangkan aspek makna bahasa
dipelajari dalam ilmu tersendiri yang disebut semantik. Dungan demikian, dapat
disimpulkan bahwa cabang-cabang linguistik ditinjau dari tatarannya terdiri
dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
LINGUISTIK SEBAGAI ILMU
Sebagai
suatu disiplin ilmu, linguistik haruslah memenuhi berbagai persyaratan atau
kriteria untuk bisa disebut sebagai ilmu. Kriteria itu sebagaimana dikemukakan
oleh SJ Warouw (1956) antara lain:
- Pengetahuan
itu harus teratur dan sitematis,
- Pengetahuan
itu harus bersifat progresif, terus menerus menguasahakan atau berkembang
ke arah yang lebih maju, dan
- Pengetahuan
itu bersifat otonom, artinya bersifat mandiri dan bebas dalam kalangan
sendiri.
Sementara itu, Oliva (1982) menjelaskan
bahwa untuk bisa disebut sebagai ilmu maka harus memenuhi beberapa kraktristik
sebagai berikut:
- Memiliki
prinsip-prinsip. Artinya suatu ilmu pengetahuan harus memiliki sperangkat
konstruk-konstruk teoritis atau prinsip yang membangun ilmu pengetahuan
tersebut.
- Memiliki
objek kajian yang jelas. Dalam hal ini linguistik memiliki objek kajian
yang sudah mapan yaitu bahasa dengan segala aspeknya.
- Memiliki
kelompok teoritisi dan praktisi. Artinya, setiap ilmu pengetahuan haru
memiliki para ahli yang berkecimpung pada tataran teoritis maupun praktis.
Dengan demikian linguistik juga harus memiliki para ahli di bidang
teori-teori linguistik (teoritisi) dan para penerap linguistik di lapangan
(paktisi).
Sedangkan Ramelan (1991), persayaratan ilmu
itu antara lain;
- The
subject matter of a science should be clearly defined in such a way that
is clearly separated from the rest of universe
(objek kajian suatu ilmu harus jelas dan definitif sehingga bisa dibedakan
dari objek-objek kajian yang lain yang ada di alam ini)
- The
observation and investigation of the subject matter should be carried out
objectively without involving the subjective and personal attitude of the
investigatior; the description of it, which is based on the result of
investigation, should likewise be objective. (Pengamatan
dan penelitian terhadap objek kajiannya harus dilaksanakan secara objektif
tanpa melibatkan sikap subjektif dari peneliti; demikian juga
pendeskripsian tentang objek kajian itu –yang didasarkan atas hasil
penelitian- juga harus bersifat objektif)
- Generalizations
of observed facts will lead to inductive establishment of the so called
“laws”, which should be verifiable by any competent observer. The validity
of these laws has to be tested by applying them to that part of the data
not used in forming the genaralizations. (Generalisasi
atas fakta-fakta amatan akan mengarah pada terbentuknya “hukum-hukum”
secara induktif yang bisa diuji kembali kebenarannya oleh peneliti lain
yang kompeten. Validitas atau kebenaran hukum-hukum itu harus diuji dengan
cara menerapkannya pada sebagian dari data amatan tersebut, bukan
digunakan dalam membentuk generalisasi.
- Statements
on the results of investigation should be arranged in a systematized form
so that it will be easy for other people to read and study. Hasil-hasil penelitian tersebut harus
disusun dalam bentuk yang sistematis sehingga akan memudahkan orang lain
dalam membaca dan mempelajarinya.
- A
scince is never static; it always considers its findings and its
establihsed laws, and is ready to change or modify them when they are
refused by additional data or by new findings. (Ilmu
itu tidak pernah statis. Ilmu selalu mempertimbangkan kembali temuan dan
hukum-hukumnya yang sudah mapan dan siap untuk merubah atau
memodifikasikannya apabila ada data atau temuan baru yang menolaknya).
Berpijak
pada apa yang telah dikemukakan oleh Ramelan tersebut di atas, maka jelaslah
bahwa objek kajian linguistik adalah bahasa. Istilah bahasa memang sering
disalahfahami oleh orang. Sebagian orang menganggap bahasa mencakup semua sarana yang bisa digunakan sebagai alat
komunikasi seperti tulisan, isyarat, gerakan tangan dan bibir yang digunakan
oleh kelompok orang tuli dan bisu dan lain-lain. Oleh karena itu perlu ada
definisi yang jelas mengenai bahasa yang menjadi objek kajian linguistik. Dalam
ilmu linguistik bahasa juga diartikan sebagai alat komuniasi yang dengannya
pesan dapat tersampaikan. Namun demikian, ada perbedaan antara bahasa dengan
alat komunikasi yang lain berkaitan dengan medianya. Sebagai contoh, dalam
tulisan, medianya adalah simbol-simbol tertulis, dalam isyarat medianya adalah
gerakan tubuh. Sedangkan dalam bahasa, media yang digunakan untuk berkomunikasi
adalah bunyi-bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat organ manusia. Oleh karena
itu, dalam perspektif ilmu linguistik, sistim atau alat komunikasi lain yang
tidak menggunakan bunyi ujaran sebagai medianya tidak termasuk bidang kajian
linguistik. Dari sini jelaslah bahwa objek kajian linguistik adalah sistim
bunyi yang terartikulasi dan digunakan oleh manusia dalam komunikasi antar
mereka.
Namun demikian, ketika kita bicara tentang
studi bahasa, hal ini jangan disalahfahami dengan studi tentang bahasa tertentu
sebagaimana kita kenal dalam perkataan sehari-hari. Sebagai contoh, studi
bahasa Inggris atau bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa di perguruan
tinggi tidak bisa disebut sebagai linguistik. Studi tentang bahasa-bahasa
tersebut sebagai alat komunikasi didorong oleh adanya tujuan agar setelah
menguasai bahasa-bahasa tersebut, seseorang yang mempelajarinya akan mampu menggunakannya
sebagai alat komunikasi. Sementara itu, seorang linguis mungkin juga
mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Arab, tetapi minat atau tujuannya
berbeda. Ia mempelajari bahasa-bahasa tersebut bukan bertujuan untuk
menguasainya sebagai alat komunikasi –meskipun mungkin ia sangat mahir-, tetapi
perhatian utamanya adalah mengetahui struktur internalnya, yakni untuk
menemukan dan menjelaskan unit-unit penanda dasar bahasa tersebut (the
signalling units of language) yang berupa fonem dan morfem serta bagaimana
keduanya didistribusikan. Fonem dan morfem adalah unit penanda dasar setiap
bahasa, sehingga keduanya bersifat universal. Setiap bahasa pasti mempunyainya.
Istilah
“linguis” tidak diperuntukkan secara umum bagi siapapun yang mengetahui dan
menguasai berbagai bahasa. Istilah yang tepat untuk mereka adalah “poliglot”.
Sedangkan seorang “linguis” adalah seseorang yang ahli dalam menganalisis
bahasa-bahasa, karena pekerjaan utamanya adalah menaganalisis unit-unit penanda
bahasa. Seorang linguis juga bisa disebut sebagai “theorist about language”
atau teoritisi bahasa karena ia mempelajari apa itu bahasa, bagaimana bahasa
itu bekerja dan bagaimana bahasa dipelajari dan digunakan dalam
masyarakat.
Objektifitas dalam meneliti dan
menganalisis bahasa dibuktikan dengan digunakannya instrumen-instrumen yang
terjamin obyektifitasnya seperti spectograph, tape recorder dan
lain-lain, sehingga kesimpulan mengenai fakta-fakta amatan dapat diuji
kebenarannya oleh orang lain. Objektifitas penelitian bahasa juga dapat
dibuktikan dengan adanya metodologi atau prosedur penelitian yang bisa
ditelusuri dan diikuti oleh peneliti lain sehingga kesimpulan yang dibuatnya
tidak akan jauh berbeda.
Linguistik menggunakan metode ilmiah
seperti metode induktif dan deduktif dalam
meneliti bahasa. Metode induktif digunakan dalam menyusun generalisasi dari
hasil penelitian yang diambil dari observasi-observasi yang mendalam. Sedangkan
metode deduktif digunakan pada saat seorang linguis ingin menguji validitas
atas teori atau hukum yang telah mapan sebelum ia melakukan penelitian.
Uraian-uraian atas hasil penelitian
linguistik disusun dalam format tulisan yang sistimatis sehingga struktur dari
bahasa yang diteliti dapat terungkap dengan baik. Hal ini dapat membantu orang
lain dalam membaca dan mempelajari laporan penelitian.
Ciri ilmu yang terakhir adalah bahwa ilmu itu tidak bersifat statis tetapi
dinamis. Kedinamisan linguistik ditandai dengan keterbukaannya terhadap
perubahan terutama jika ada data tambahan atau penemuan baru yang menolak
teori-teori sebelumnya. Linguistik adalah ilmu yang selalu tumbuh dan
berkembang serta senantiasa memperhatikan temuan-temuan baru. Ini berarti mereka yang menyebut
dirinya seorang linguis harus bersikap terbuka dan senantiasa menerima kebenaran-kebenaran
baru dari hasil penelitian kebahasaan yang ada. Ketika seorang linguis meneliti
bahasa dan membuat kesimpulan atas penelitiannya, ia tidak boleh menganggap
kesimpulannya sebagai kebenaran final. Apa yang benar pada saat tertentu belum tentu dianggap benar
pada saat yang lain akibat adanya bukti atau data yang baru yang
menggugurkannya. Dengan demikian pencarian kebenaran ilmiah merupakan suatu
proses yang tidak akan pernah berhenti, dan inilah kekuatan sebuah ilmu yang
akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan.
LINGUISTIK DAN PEMBELAJARAN BAHASA
Mempelajari
linguistik bagi calon guru bahasa akan membantu dalam melaksanakan
tugas-tugasnya kelak. Beberapa manfaat yang bisa diambil antara lain:
- Linguistik
–termasuk juga psikolinguistik dan sosiolinguistik- membekali guru tentang
teori-teori seputar hakikat bahasa, proses berbahasa, pemerolehan bahasa,
penggunaan bahasa secara aktual dalam komunikasi sehari-hari dan lain-lain
yang bisa dijadikan asumsi dasar atau panduan dalam menentukan pendekatan,
metode dan teknik pembelajaran bahasa termasuk di dalamnya adalah
pengorganisasian materi.
- Linguistik
membekali guru dengan kemampuan untuk menganalisis aspek-aspek bahasa
(fonologi, morfologi, sintaksis, semantik) yang berguna dalam mengantisipasi
berbagai kemungkinan hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran
bahasa.
- Pada
dasarnya metodologi pengajaran bahasa adalah cabang linguistik terapan
yang menitikberatkan perhatiannya pada kemungkinan teori-teori linguistik
dipakai, dimanfaatkan atau dipraktekkan dalam proses pembelajarn bahasa.
Dalam bahasa Jos Daniel Parera, ada istilah yang disebut “linguistik
edukasional” yang diartikan sebagai suatu cabang linguistik terapan yang
khusus menganalisis, menerangkan dan menjelaskan tentang praktek
pelaksanaan pengajaran bahasa yang berlandaskan teori-teori kebahasaan.[4]
- Idealnya,
seorang guru bahasa (asing) adalah juga seorang linguis atau
praktisi/penerap linguistik yang menguasai dengan baik bahasa siswa maupun bahasa asing yang diajarkannya dalam semua aspeknya.
Perkembangan
ilmu linguistik yang begitu cepat membawa perubahan-perubahan mendasar yang
berkenaan dengan pengajaran bahasa. Ini berarti linguistik sangat berperan
dalam memberikan arahan tentang berbagai metode pengajaran bahasa.[5]
Mengenai kaitan linguistik dan pengajaran
bahasa, Soenardji menjelaskan sebagai berikut: Analisis ilmiah atas
berbagai gejala yang terumuskan menjadi kaidah fonologik, morfologik dan
sintaktis diproses menjadi bahan ajar dalam pengajaran bahasa. Hasil pembahasan
akademik dan hasil penelitian yang punya bobot teoritik kebahasaan ditransfer
menjadi dalil-dalil pemandu pemakaian bahasa yang baik dan benar melalui
kegiatan pendidikan bahasa. Kalau kita umpamakan linguistik dan pengajaran
sebagai dua kutub, maka antara dua kutub itu perlu adanya penyambung yang dapat
melayani keduanya dengan sebaik-baiknya. Sarana pelayanan itu adalah suatu
disiplin baru yang disebut linguistik
terapan. Bagi kepentingan pengajaran bahasa linguistik terapan tersebut
memusatkan perhatiannya pada:
- Butir-butir
teoritik yang mempunyai keabsahan kuat dalam linguistik, dan
- Pelbagai
kemungkinan dan alternatif untuk
memandu pelaksanaan pengajaran bahasa. Kemungkinan dan alternatif itu
diupayakan agar seiring dan sejalan dengan butir teoritik dalam
linguistik.
Secara lebih transparan, Ramelan[6]
menjelaskan tentang kegunaan linguistik terhadap pengajaran bahasa, antara
lain:
- Memberi
pijakan tentang prinsip-prinsip pengajaran bahasa asing, termasuk
didalamnya pendekatan, metode dan teknik.
- Memberi
arahan atau pijakan mengenai isi/materi bahasa yang akan diajarkan yang
didasarkan pada diskripsi bahasa yang mendetail, termasuk cara
mempresentasikan.
Selanjutnya
Ramelan menyatakan, jika para linguis struktural percaya akan sumbangan
linguistik terhadap pengajaran bahasa, maka linguis transformsional tidak
pernah mengklaim demikian. Menurut yang terakhir, linguistik adalah suatu ilmu
yang otonom, yang mencoba mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi yang
digunakan manusia tanpa mempertimbangkan kemungkinan teori mereka tentang
bahasa dapat diterapkan pada pengajaran
bahasa. Ini mungkin tidak dapat dilepaskan dari sikap Chomsky sendiri (tokoh
transformasional), bahkan dia pernah menyatakan dalam suatu konferensi
guru-guru bahasa, bahwa seorang linguis tidak pernah bermaksud menyibukkan
dirinya dalam persoalan-persoalan pengajaran bahasa (linguists never intended
to address themselves to thee problem of teaching a language)[7]
Meskipun demikian, banyak penganut
tranformasional yang percaya bahwa aspek kreatif bahasa yang ada pada diri
seseorang (salah satu tinjauan aliran ini) dapat diterapkan pada pengajaran
bahasa, misalnya dengan melatih siswa untuk menciptakan dan menghasilkan
kalimat-kalimat dalam bahasa yang sedang mereka pelajari.
Sementara kesepakatan linguis struktural
tentang peranan linguistik terhadap pengajaran bahasa, juga tidak terlepas dari
sikap Bloomfield .
Disamping dia seorang linguis, dia juga seorang yang ahli di bidang pengajaran
bahasa. Hal ini ditunjukkan dari perhatiannya yang besar terhadap pengajaran
bahasa-bahasa modern. Bahkan dia sangat mengkritik penggunaan metode tata
bahasa terjemahan (grammar-translation method). Menurutnya tujuan utama
pengajaran bahasa asing harus didasarkan pada penguasaan oral bahasa tersebut.[8]
Dari sini lahir suatu pendekatan yang terkenal dengan “Oral-Aural Approach”.
[1] JWM Verhaar, Pengantar
Lingguistik (Yogyakarta: UGM Press, 1985) hal. 3.
[2] Lihat Mansoer Pateda, Op.cit, hal
35, Verhaar, Op.Cit hal. 3.
[3] Sudaryanto, Linguistik;
Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya dan Hasil Kajiannya,(Yogyakarta:
Duta Wacana University Press, 1996) hal. 6-7.
[4] Jos Daniel Parera, Linguistik
Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987) hal. 1
[5] Ramelan, Op. Cit, hal. i
[6] Ramelan, Op. Cit, hal 36-37.
[7] Ibid, hal. 38.
[8] Ibid, hal. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar