Senin, 11 Juni 2012

LINGUISTIK


BAB 1

PENDAHULUAN

Pengertian Linguistik

Kata linguistik (linguistics-Inggris) berasal dari bahasa Latin “lingua” yang berarti bahasa. Dalam bahasa Perancis “langage-langue”; Italia “lingua”; Spanyol “lengua” dan Inggris “language”. Akhiran “ics” dalam linguistics berfungsi untuk menunjukkan nama sebuah ilmu, yang berarti ilmu tentang bahasa, sebagaimana istilah economics, physics dan lain-lain.
Menurut Pringgodigdo dan Hasan Shadili, sebagaimana dikutip oleh Mansoer Pateda, “linguistik adalah penelaahan bahasa secara ilmu pengetahuan”. Sedangkan  AS Hornby membagi kata linguidtics ke dalam dua kategori, sebagai kata sifat dan kata benda. Linguistics sebagai kata sifat berarti “the study of language and languages”. Sedangkan linguistics sebagai kata benda, berarti “the science of language; methods of learning and studying languages”. Dengan demikian, linguistik menurut AS Hornby berarti ilmu bahasa atau metode mempelajari bahasa.
Sementara Ramelan berpendapat bahwa:“Linguistics is the name of a science, just like economics, physics and mathematics. The term comes from the world ‘language’ which get suffix ‘ics’ to denote the name of science. Linguistics is a scientific study of language, or science about language Jadi, menurut Ramelan linguistik tidak lain adalah suatu studi tentang bahasa atau ilmu bahasa.
Sedangkan Ronald W Langacker (1973) berpendapat bahwa linguistics is the study of human language. Dari pendapat Langacker ini dapat kita simpulkan bahwa hanya bahasa manusia lah yang menjadi objek kajian linguistik, sementara “bahasa hewan atau animal language tidak termasuk wilayah kajian linguistik.
Dalam literatur berbahasa Arab istilah fiqh al-lughoh   dan ilm lughoh sering digunakan untuk menyebut  ilmu linguistik ini. Namun demikian antara fiqh al-lughoh dan ilmu al-lughoh sering dibedakan pengertiannya. Emil Ya’qub menjelaskan perbedaan kedua istilah tersebut berikut ini.
“Ditinjau dari segi pendekatannya, fiqh al-lughoh mempelajari bahasa disebabkan  karena  fungsi bahasa sebagai media/pengantar untuk mempelajari kebudayaan atau peradaban suatu bangsa. Sedangkan ilmu al-lughoh mempelajari bahasa karena bahasa itu sendiri bukan karena fungsinya sebagai penjelas sutau peradaban. Dengan demikian dalam fiqh al-lughoh bahasa dipelajari sebagai alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar yaitu mempelajari peradaban, sementara dalam ilmu al-lughoh bahasa dipelajari sebagai tujuan atau sebagaimana diungkapkan oleh De Saussure objek sesungguhnya dan satu-satunya dari ilmu al-lughoh adalah bahasa itu sendiri.
Cakupan kajian fiqh al-lughoh  lebih luas dan menyeluruh karena tujuan akhir fiqh al-lughoh ini adalah mempelajari budaya dan peradaban serta kehidupan pemikiran dari berbagai aspeknya. Oleh karena itu, mereka yang menekuni bidang ini (fuqoha al-lughoh) sering melakukan pengklasifikasian dan pembandingan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, penelusuran teks-teks klasik dan lain-lain dalam rangka mengetahui nilai-nilai kultural terkandung di dalamnya. Dengan kata lain fiqh al-lughoh  bisa dianggap sebagai “tempat berpijak” bagi ilmu al-lughoh di satu sisi dan ilmu-ilmu budaya dan humaniora pada sisi yang lain. Berbeda dengan ilmu al-lughoh yang hanya memfokuskan dirinya  pada penganalisisan struktur bahasa dan mendiskripsikannya, sehingga jika ada yang  melebihi kedua hal tersebut, berarti telah mendekati bidang cakupan fiqh al-lughoh.
Fiqh al-lughoh kalaupun mempelajari bahasa, pendekatannya lebih bersifat historis-komparatif (historical comparative), sedangkan Ilmu al-lughoh lebih bersifat deskriptif-struktural”.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa istilah bahasa Arab  yang paling pas untuk menyebut ilmu linguistik adalah “ilmu al-lughoh”.  Sedangkan fiqh al-lughoh sering digunakan untuk menyebut istilah philologi yakni ilmu yang mempelajari naskah-naskah klasik ditinjau dari segi keautentikannya maupun dari segi isi dan kandungannya.

OBJEK LINGUISTIK


Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa objek kajian linguistik tidak lain adalah bahasa, yakni bahasa manusia yang berfungsi sebagai sistim komunikasi yang menggunakan ujaran sebagai medianya; bahasa keseharian manusia; bahasa yang dipakai sehari-hari oleh manusia sebagai anggota masyarakat tertentu, atau dalam bahasa Inggris disebut dengan an ordinary language atau a natural language. Ini berarti bahasa lisan (spoken language) sebagai obyek primer linguistik, sedangkan bahasa tulisan (written language) sebagai obyek sekunder linguistik, karena bahasa tulisan dapat dikatakan sebagai “turunan” bahasa lisan.[1]
Sementara itu, Ferdinand De Saussure (1857-1913), -seorang ahli linguistik kebangsaan Swiss yang dianggap sebagai bapak linguistik modern- menegaskan bahwa objek linguistik mencakup “langage, langue dan parole”. Langage (Inggris; Linguistic disposition) adalah bahasa pada umumnya, seperti dalam ungkapan “manusia mempunyai bahasa, sedangkan hewan tidak mempunyai bahasa”. Langue (Inggris; language) berarti bahasa tertentu seperti bahasa Inggris, bahasa Arab, bahasa Indonesia dan lain-lain. Sedangkan parole (Inggris; speech) berarti logat, ucapan atau tuturan. Sebenarnya kata Language dalam bahasa Inggris meliputi baik langage maupun langue dalam bahasa Perancis. Namun demikian, parole merupakan objek kongkrit linguistik, langue merupakan objek yang sudah lebih abstrak, sedangkan langage merupakan objek yang paling abstrak.[2]
Sebenarnya ada beberapa ilmu yang berhubungan dengan bahasa sebagai objek kajiannya, antara lain:
  1. Ilmu tentang bahasa atau ilmu-ilmu tentang aspek-aspek bahasa; dan dalam hal ini bahasa digunakan dalam arti harfiyah. Inilah yang disebut pure linguistik atau linguistik murni.
  2. Ilmu-ilmu tentang bahasa; dan dalam hal ini, istilah bahasa digunakan dalam arti metaforis atau kiasan. Contoh ilmu yang termasuk kategori ini adalah kinesik dan paralinguistik. Kinesik adalah ilmu tentang gerak tubuh/kial/ body language, seperti anggukan kepala, isyarat tangan dan lain-lain. Paralinguistik adalah ilmu yang memusatkan perhatiannya pada aktifitas-aktifitas tertentu yang mengiringi pengucapan bahasa, seperti desah nafas, decak, ketawa, batuk-batuk kecil, bentuk-bentuk tegun seperti ehm, anu, apa itu, apa ya dan lain sebagainya.
  3. Ilmu-ilmu yang salah satu dasarnya adalah bahasa. Contohnya adalah fonetik, etnolinguistik, psikolinguistik dan sosiolinguistik. Fonetik mempelajari salah satu unsur bahasa yaitu bunyi bahasa sebagai objek kajian utamanya. Etnolinguistik atau antropolinguistik adalah ilmu yang meneliti seluk beluk hubungan aneka pemakaian bahasa dengan pola kebudayaan dalam masyarakat tertentu atau ilmu yang mencoba mencari hubungan antara bahasa, penggunaan bahasa dan kebudayaan pada umumnya. Psikolinguistik  mempelajari seluk beluk aneka pemakaian bahasa dengan perilaku akal budi manusia atau ilmu yang mempelajari bahasa sebagai akibat latar belakang kejiwaan penutur bahasa. Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari seluk beluk pemakaian bahasa dengan perilaku sosial, atau ilmu yang mmpelajari hubungan antara aspek sosila dengan kegiatan berbahasa.
  4. Ilmu tentang pendapat-pendapat mengenai bahasa. Contohnya metalinguistik, yakni ilmu yang membicarakan seluk beluk “bahasa” yang dipakai untuk menerangkan bahasa yang tercermin dalam istilah studi teori linguistik, studi metode linguistik dan lain-lain.
  5. Ilmu-ilmu mengenai ilmu bahasa. Yang termasuk kategori ini adalah studi-studi yang mengkhususkan dirinya pada ilmu linguistik itu sendiri, sperti studi tentang sejarah perjalanan ilmu linguistik, studi linguistik pada abad ke dua puluh dan lain-lain.

Dari kelima jenis ilmu tersebut di atas, maka hanya nomor (1) saja yang bisa disebut sebagai ilmu linguistik yang murni karena objeknya bahasa yang benar-benar bahasa, sedangkan objek keempat ilmu lainnya bukanlah bahasa dalam pengertian sehari-hari[3]. Bahasa yang menjadi objek linguistik dipelajari dari berbagai aspeknya atau tatarannya. Tataran bahasa itu meliputi aspek bunyi, morfem dan kata, frase dan kalimat serta aspek makna. Cabang linguistik yang mempelajari aspek bunyi bahasa adalah fonologi. Tataran morfem atau kata dipelajari dalam morfologi. Tataran frase/kalimat dibahas dalam sintaksis. Sedangkan aspek makna bahasa dipelajari dalam ilmu tersendiri yang disebut semantik. Dungan demikian, dapat disimpulkan bahwa cabang-cabang linguistik ditinjau dari tatarannya terdiri dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik. 

LINGUISTIK SEBAGAI ILMU


Sebagai suatu disiplin ilmu, linguistik haruslah memenuhi berbagai persyaratan atau kriteria untuk bisa disebut sebagai ilmu. Kriteria itu sebagaimana dikemukakan oleh SJ Warouw (1956) antara lain:
  1. Pengetahuan itu harus teratur dan sitematis,
  2. Pengetahuan itu harus bersifat progresif, terus menerus menguasahakan atau berkembang ke arah yang lebih maju, dan
  3. Pengetahuan itu bersifat otonom, artinya bersifat mandiri dan bebas dalam kalangan sendiri.
Sementara itu, Oliva (1982) menjelaskan bahwa untuk bisa disebut sebagai ilmu maka harus memenuhi beberapa kraktristik sebagai berikut:
  1. Memiliki prinsip-prinsip. Artinya suatu ilmu pengetahuan harus memiliki sperangkat konstruk-konstruk teoritis atau prinsip yang membangun ilmu pengetahuan tersebut.
  2. Memiliki objek kajian yang jelas. Dalam hal ini linguistik memiliki objek kajian yang sudah mapan yaitu bahasa dengan segala aspeknya.
  3. Memiliki kelompok teoritisi dan praktisi. Artinya, setiap ilmu pengetahuan haru memiliki para ahli yang berkecimpung pada tataran teoritis maupun praktis. Dengan demikian linguistik juga harus memiliki para ahli di bidang teori-teori linguistik (teoritisi) dan para penerap linguistik di lapangan (paktisi).
Sedangkan Ramelan (1991), persayaratan ilmu itu antara lain;
  1. The subject matter of a science should be clearly defined in such a way that is clearly separated from the rest of universe (objek kajian suatu ilmu harus jelas dan definitif sehingga bisa dibedakan dari objek-objek kajian yang lain yang ada di alam ini)
  2. The observation and investigation of the subject matter should be carried out objectively without involving the subjective and personal attitude of the investigatior; the description of it, which is based on the result of investigation, should likewise be objective. (Pengamatan dan penelitian terhadap objek kajiannya harus dilaksanakan secara objektif tanpa melibatkan sikap subjektif dari peneliti; demikian juga pendeskripsian tentang objek kajian itu –yang didasarkan atas hasil penelitian- juga harus bersifat objektif)
  3. Generalizations of observed facts will lead to inductive establishment of the so called “laws”, which should be verifiable by any competent observer. The validity of these laws has to be tested by applying them to that part of the data not used in forming the genaralizations. (Generalisasi atas fakta-fakta amatan akan mengarah pada terbentuknya “hukum-hukum” secara induktif yang bisa diuji kembali kebenarannya oleh peneliti lain yang kompeten. Validitas atau kebenaran hukum-hukum itu harus diuji dengan cara menerapkannya pada sebagian dari data amatan tersebut, bukan digunakan dalam membentuk generalisasi.
  4. Statements on the results of investigation should be arranged in a systematized form so that it will be easy for other people to read and study.  Hasil-hasil penelitian tersebut harus disusun dalam bentuk yang sistematis sehingga akan memudahkan orang lain dalam membaca dan mempelajarinya.
  5. A scince is never static; it always considers its findings and its establihsed laws, and is ready to change or modify them when they are refused by additional data or by new findings. (Ilmu itu tidak pernah statis. Ilmu selalu mempertimbangkan kembali temuan dan hukum-hukumnya yang sudah mapan dan siap untuk merubah atau memodifikasikannya apabila ada data atau temuan baru yang menolaknya).

Berpijak pada apa yang telah dikemukakan oleh Ramelan tersebut di atas, maka jelaslah bahwa objek kajian linguistik adalah bahasa. Istilah bahasa memang sering disalahfahami oleh orang. Sebagian orang menganggap bahasa mencakup  semua sarana yang bisa digunakan sebagai alat komunikasi seperti tulisan, isyarat, gerakan tangan dan bibir yang digunakan oleh kelompok orang tuli dan bisu dan lain-lain. Oleh karena itu perlu ada definisi yang jelas mengenai bahasa yang menjadi objek kajian linguistik. Dalam ilmu linguistik bahasa juga diartikan sebagai alat komuniasi yang dengannya pesan dapat tersampaikan. Namun demikian, ada perbedaan antara bahasa dengan alat komunikasi yang lain berkaitan dengan medianya. Sebagai contoh, dalam tulisan, medianya adalah simbol-simbol tertulis, dalam isyarat medianya adalah gerakan tubuh. Sedangkan dalam bahasa, media yang digunakan untuk berkomunikasi adalah bunyi-bunyi ujaran yang dihasilkan oleh alat organ manusia. Oleh karena itu, dalam perspektif ilmu linguistik, sistim atau alat komunikasi lain yang tidak menggunakan bunyi ujaran sebagai medianya tidak termasuk bidang kajian linguistik. Dari sini jelaslah bahwa objek kajian linguistik adalah sistim bunyi yang terartikulasi dan digunakan oleh manusia dalam komunikasi antar mereka.
Namun demikian, ketika kita bicara tentang studi bahasa, hal ini jangan disalahfahami dengan studi tentang bahasa tertentu sebagaimana kita kenal dalam perkataan sehari-hari. Sebagai contoh, studi bahasa Inggris atau bahasa Arab yang dilakukan oleh mahasiswa di perguruan tinggi tidak bisa disebut sebagai linguistik. Studi tentang bahasa-bahasa tersebut sebagai alat komunikasi didorong oleh adanya tujuan agar setelah menguasai bahasa-bahasa tersebut, seseorang yang mempelajarinya akan mampu menggunakannya sebagai alat komunikasi. Sementara itu, seorang linguis mungkin juga mempelajari bahasa Inggris atau bahasa Arab, tetapi minat atau tujuannya berbeda. Ia mempelajari bahasa-bahasa tersebut bukan bertujuan untuk menguasainya sebagai alat komunikasi –meskipun mungkin ia sangat mahir-, tetapi perhatian utamanya adalah mengetahui struktur internalnya, yakni untuk menemukan dan menjelaskan unit-unit penanda dasar bahasa tersebut (the signalling units of language) yang berupa fonem dan morfem serta bagaimana keduanya didistribusikan. Fonem dan morfem adalah unit penanda dasar setiap bahasa, sehingga keduanya bersifat universal. Setiap bahasa pasti mempunyainya.
Istilah “linguis” tidak diperuntukkan secara umum bagi siapapun yang mengetahui dan menguasai berbagai bahasa. Istilah yang tepat untuk mereka adalah “poliglot”. Sedangkan seorang “linguis” adalah seseorang yang ahli dalam menganalisis bahasa-bahasa, karena pekerjaan utamanya adalah menaganalisis unit-unit penanda bahasa. Seorang linguis juga bisa disebut sebagai “theorist about language” atau teoritisi bahasa karena ia mempelajari apa itu bahasa, bagaimana bahasa itu bekerja dan bagaimana bahasa dipelajari dan digunakan dalam masyarakat. 
Objektifitas dalam meneliti dan menganalisis bahasa dibuktikan dengan digunakannya instrumen-instrumen yang terjamin obyektifitasnya seperti spectograph, tape recorder dan lain-lain, sehingga kesimpulan mengenai fakta-fakta amatan dapat diuji kebenarannya oleh orang lain. Objektifitas penelitian bahasa juga dapat dibuktikan dengan adanya metodologi atau prosedur penelitian yang bisa ditelusuri dan diikuti oleh peneliti lain sehingga kesimpulan yang dibuatnya tidak akan jauh berbeda.
Linguistik menggunakan metode ilmiah seperti metode induktif  dan deduktif dalam meneliti bahasa. Metode induktif digunakan dalam menyusun generalisasi dari hasil penelitian yang diambil dari observasi-observasi yang mendalam. Sedangkan metode deduktif digunakan pada saat seorang linguis ingin menguji validitas atas teori atau hukum yang telah mapan sebelum ia melakukan penelitian.
Uraian-uraian atas hasil penelitian linguistik disusun dalam format tulisan yang sistimatis sehingga struktur dari bahasa yang diteliti dapat terungkap dengan baik. Hal ini dapat membantu orang lain  dalam membaca dan mempelajari  laporan penelitian.
Ciri ilmu yang terakhir adalah  bahwa ilmu itu tidak bersifat statis tetapi dinamis. Kedinamisan linguistik ditandai dengan keterbukaannya terhadap perubahan terutama jika ada data tambahan atau penemuan baru yang menolak teori-teori sebelumnya. Linguistik adalah ilmu yang selalu tumbuh dan berkembang serta senantiasa memperhatikan temuan-temuan  baru. Ini berarti mereka yang menyebut dirinya seorang linguis harus bersikap terbuka dan senantiasa menerima kebenaran-kebenaran baru dari hasil penelitian kebahasaan yang ada. Ketika seorang linguis meneliti bahasa dan membuat kesimpulan atas penelitiannya, ia tidak boleh menganggap kesimpulannya sebagai kebenaran final. Apa yang benar  pada saat tertentu belum tentu dianggap benar pada saat yang lain akibat adanya bukti atau data yang baru yang menggugurkannya. Dengan demikian pencarian kebenaran ilmiah merupakan suatu proses yang tidak akan pernah berhenti, dan inilah kekuatan sebuah ilmu yang akan selalu mengikuti perkembangan zaman dan kemajuan.

LINGUISTIK DAN PEMBELAJARAN BAHASA


Mempelajari linguistik bagi calon guru bahasa akan membantu dalam melaksanakan tugas-tugasnya kelak. Beberapa manfaat yang bisa diambil antara lain:
  1. Linguistik –termasuk juga psikolinguistik dan sosiolinguistik- membekali guru tentang teori-teori seputar hakikat bahasa, proses berbahasa, pemerolehan bahasa, penggunaan bahasa secara aktual dalam komunikasi sehari-hari dan lain-lain yang bisa dijadikan asumsi dasar atau panduan dalam menentukan pendekatan, metode dan teknik pembelajaran bahasa termasuk di dalamnya adalah pengorganisasian materi.
  2. Linguistik membekali guru dengan kemampuan untuk menganalisis aspek-aspek bahasa (fonologi, morfologi, sintaksis, semantik) yang berguna dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan hambatan yang dihadapi dalam kegiatan pembelajaran bahasa.
  3. Pada dasarnya metodologi pengajaran bahasa adalah cabang linguistik terapan yang menitikberatkan perhatiannya pada kemungkinan teori-teori linguistik dipakai, dimanfaatkan atau dipraktekkan dalam proses pembelajarn bahasa. Dalam bahasa Jos Daniel Parera, ada istilah yang disebut “linguistik edukasional” yang diartikan sebagai suatu cabang linguistik terapan yang khusus menganalisis, menerangkan dan menjelaskan tentang praktek pelaksanaan pengajaran bahasa yang berlandaskan teori-teori kebahasaan.[4]
  4. Idealnya, seorang guru bahasa (asing) adalah juga seorang linguis atau praktisi/penerap linguistik yang menguasai dengan baik bahasa siswa  maupun bahasa asing  yang diajarkannya dalam semua aspeknya.

Perkembangan ilmu linguistik yang begitu cepat membawa perubahan-perubahan mendasar yang berkenaan dengan pengajaran bahasa. Ini berarti linguistik sangat berperan dalam memberikan arahan tentang berbagai metode pengajaran bahasa.[5]
Mengenai kaitan linguistik dan pengajaran bahasa, Soenardji menjelaskan sebagai berikut: Analisis ilmiah atas berbagai gejala yang terumuskan menjadi kaidah fonologik, morfologik dan sintaktis diproses menjadi bahan ajar dalam pengajaran bahasa. Hasil pembahasan akademik dan hasil penelitian yang punya bobot teoritik kebahasaan ditransfer menjadi dalil-dalil pemandu pemakaian bahasa yang baik dan benar melalui kegiatan pendidikan bahasa. Kalau kita umpamakan linguistik dan pengajaran sebagai dua kutub, maka antara dua kutub itu perlu adanya penyambung yang dapat melayani keduanya dengan sebaik-baiknya. Sarana pelayanan itu adalah suatu disiplin baru yang disebut linguistik  terapan. Bagi kepentingan pengajaran bahasa linguistik terapan tersebut memusatkan perhatiannya pada:
  1. Butir-butir teoritik yang mempunyai keabsahan kuat dalam linguistik, dan
  2. Pelbagai kemungkinan dan alternatif  untuk memandu pelaksanaan pengajaran bahasa. Kemungkinan dan alternatif itu diupayakan agar seiring dan sejalan dengan butir teoritik dalam linguistik.

Secara lebih transparan, Ramelan[6] menjelaskan tentang kegunaan linguistik terhadap pengajaran bahasa, antara lain:
  1. Memberi pijakan tentang prinsip-prinsip pengajaran bahasa asing, termasuk didalamnya pendekatan, metode dan teknik.
  2. Memberi arahan atau pijakan mengenai isi/materi bahasa yang akan diajarkan yang didasarkan pada diskripsi bahasa yang mendetail, termasuk cara mempresentasikan.
Selanjutnya Ramelan menyatakan, jika para linguis struktural percaya akan sumbangan linguistik terhadap pengajaran bahasa, maka linguis transformsional tidak pernah mengklaim demikian. Menurut yang terakhir, linguistik adalah suatu ilmu yang otonom, yang mencoba mempelajari bahasa sebagai alat komunikasi yang digunakan manusia tanpa mempertimbangkan kemungkinan teori mereka tentang bahasa dapat diterapkan  pada pengajaran bahasa. Ini mungkin tidak dapat dilepaskan dari sikap Chomsky sendiri (tokoh transformasional), bahkan dia pernah menyatakan dalam suatu konferensi guru-guru bahasa, bahwa seorang linguis tidak pernah bermaksud menyibukkan dirinya dalam persoalan-persoalan pengajaran bahasa (linguists never intended to address themselves to thee problem of teaching a language)[7]
Meskipun demikian, banyak penganut tranformasional yang percaya bahwa aspek kreatif bahasa yang ada pada diri seseorang (salah satu tinjauan aliran ini) dapat diterapkan pada pengajaran bahasa, misalnya dengan melatih siswa untuk menciptakan dan menghasilkan kalimat-kalimat dalam bahasa yang sedang mereka pelajari.
Sementara kesepakatan linguis struktural tentang peranan linguistik terhadap pengajaran bahasa, juga tidak terlepas dari sikap Bloomfield. Disamping dia seorang linguis, dia juga seorang yang ahli di bidang pengajaran bahasa. Hal ini ditunjukkan dari perhatiannya yang besar terhadap pengajaran bahasa-bahasa modern. Bahkan dia sangat mengkritik penggunaan metode tata bahasa terjemahan (grammar-translation method). Menurutnya tujuan utama pengajaran bahasa asing harus didasarkan pada penguasaan oral bahasa tersebut.[8] Dari sini lahir suatu pendekatan yang terkenal dengan “Oral-Aural Approach”.
 




[1] JWM Verhaar, Pengantar Lingguistik (Yogyakarta: UGM Press, 1985) hal. 3.
[2] Lihat Mansoer Pateda, Op.cit, hal 35, Verhaar, Op.Cit  hal. 3.
[3] Sudaryanto, Linguistik; Identitasnya, Cara Penanganan Objeknya dan Hasil Kajiannya,(Yogyakarta:   
      Duta Wacana University Press, 1996) hal. 6-7.
[4] Jos Daniel Parera, Linguistik Edukasional, (Jakarta: Erlangga, 1987) hal. 1
[5] Ramelan, Op. Cit, hal. i
[6] Ramelan, Op. Cit, hal 36-37.
[7] Ibid, hal. 38.
[8] Ibid, hal. 60.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar