Minggu, 08 April 2012

KAJIAN WACANA KRITIS


ANALISIS WACANA KRITIS KHOTBAH  JUMAT “MEMBINA GENERASI MUDA MENATAP MASA DEPAN GEMILANG” DALAM MAJALAH  MUHAMMADIYAH

Anwar



Abstrak: Wacana khotbah dapat dibahas dengan analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis (AWK) merupakan tipe analisis untuk mengungkapkan ideologi, kekuasaan, sikap politik. Dalam kaitan ini, analisis wacana kritis digunakan untuk mengungkapkan sikap, bahasa yang digunakan Muballig Muhammadiyah. Sikap dan dan bahasa Muballig tersebut dilihat dari bahasa  yang digunakannya dalam khotbah pada majalah Muhammadiyah, yaitu sebuah majalah yang diterbitkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah Jln. KH. Ahmad Dahlan No. 43 Yogyakarta. Wacana khotbah pada majalah Suara Muhammadiyah ini menarik dianalisis karena sikap dan bahasa Mubalig Muhammadiyah memiliki pengaruh langsung dan berdampak besar terhadap perkembangan kehidupan beragama, lebih khusus pada kalangan muslim. Disamping itu, Organisasi Muhammadiyah dikenal sebagai salah satu organisasi Islam tertua di Indonesia setelah NU. Sehingga cukup representatif menurut penulis untuk menjadikannya sebagai objek penelitian terutama yang berkenan dengan khutbah jumat dari para muballignya. Pemilihan wacana khotbah di dalamnya terdapat ungkapan yang mengandung makna simbolik, atau pilihan kata yang perlu ditafsirkan lagi, baik menyangkut hal-hal yang positif atau negatif. Salah  satu wacana tersebut adalah khotbah dengan judul “Membina Generasi Muda Menatap Masa Depan Gemilang.”

Kata Kunci: wacana khotbah, sikap dan bahasa, Muballig Muhammadiyah

            Analisis wacana kritis dapat dipandang sebagai reaksi terhadap dominasi paradigma formal. Dalam kaitan ini para analis  berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan wacana merupakan bagian yang berpengaruh oleh struktur sosial dan dihasilkan dalam interaksi sosial. Hubungan ilmu pengetahuan dan wacana perlu dipelajari. Kemudian, praktek-praktek ilmiah perlu disadari, pandangan seperti itu dalam hal ini para analis wacana dapat dikatakan harus melaksanakan penelitian dengan bekerja sama dan merasakan adanya solidaritas dengan kelompok-kelompok yang didominasi oleh kelompok lain.
           Fairclough (1995) menggunakan analisis wacana untuk menelaah masalah-masalah sosial. Wacana terbagi dua, yaitu: wacana lisan dan wacana tulis. Wacana lisan berbentuk komunikasi verbal antar persona, sedangkan wacana tulis ditampilkan dalam bentuk teks. Wacana harus dibedakan dari teks dalam hal bahwa wacana menekankan pada proses, sedangkan teks pada produk kebahasaan. Sebuah unit percakapan dapat dilihat dari teks apabila penganalisis melihat hubungan kebahasaan antar tuturan. Sebaliknya, percakapan dilihat dari wacana apabila yang dikaji adalah proses komunikasi sehingga menghasilkan interpretasi. Van Dijk (1998) mengulas tentang analisis percakapan. Seperti yang telah diperlihatkan oleh peneliti etnografi komunikasi dan para ahli bahasa lainnya, pemanfaatan kegiatan yang diatur oleh kaidah secara empiris dapat diuji dan diverifikasi kebenarannya.
        Dalam paradigma kritis, individu tidak dipandang sebagai subjek yang netral yang dapat ditafsirkan sesuai dengan pikirannya. Hal itu dipengaruhi oleh kekuatan  sosial masyarakat yang ada dalam lingkungannya. Bahasa merupakan paradigma kritis yang dapat dipahami sebagai representasi yang berperan membentuk subjek tertentu dengan tema dan strategi tertentu pula. Oleh karena itu, analisis wacana mengungkapkan kekuasaan yang ada dalam setiap proses bahasa. Batasan-batasan dalam bahasa diperkenankan menjadi wacana representasi dalam kehidupan masyarakat.
         Menurut Fairclough, 1997  karakteristik penting yang berhubungan erat dengan analisis wacana kritis, antara lain:  tindakan, konteks, historis, kekuasaan, dan ideologi. Karakteristik pertama adalah tindakan, yang dipahami sebagai bentuk interaksi yang berhubungan dengan orang lain yang memiliki tujuan dan diekspresikan secara sadar melalui teks.
         Hal yang merupakan tindakan dapat dilihat dalam kutipan (1) wacana khotbah Suara Muhammadiyah berikut:
(1) Generasi muda yang kita harapkan dan kita banggakan merupakan tanggung jawab kita, jangan sampai mengalami masa yang gelap dan kelam. Kaum muslimin sebenarnya tidak sedikit jumlahnya yang terpelajar sejak zaman yang silam.

         Kutipan tersebut merupakan tindakan menggugah hati publik lewat wacana khotbah Jum’at dan mengharapkan perubahan perilaku kaum muslimin, karena sesungguhnya kaum muslimin mempunyai potensi sejak zaman dahulu dalam mengembangkan diri secara individu dan dalam bentuk komunitas. Perintah mengubah sikap dan perilaku manusia tertuang dalam Al Qur’an, dan diteruskan secara sadar dan bijak oleh para Muballig lewat wacana khotbah untuk beriteraksi dengan jamaah atau orang lain.
         Karakteristik kedua adalah konteks, dipahami dan dipakai untuk tujuan tertentu secara praktis. Pemaknaan teks dan konteks dilakukan secara bersama-sama. Menurut Cook, 1989. semua situasi yang berada di luar teks mempengaruhi pemakaian  bahasa, seperti persisipan dalam bahasa, situasi ketika teks diproduksi, dan fungsi yang dimaksudkan dalam teks tersebut. Aspek konteks sangat penting untuk memahami teks, sebab dengan hanya memaknai struktur teks sudah barang tentu analis akan mengalami kesulitan menemukan makna yang sebenarnya.
          Fakta tersebut dapat dilihat dalam kutipan (2)  wacan khotbah Suara Muhammadiyah  berikut:
(2)Arus globalisasi tanpa batas waktu dan wilayah, telah menembus dan merayap ke seluruh pondok reot dan gedung-gedung mewah. Batas deras dan dahsyatnya desakan arus globalisasi, sehingga terasa membutakan mata hati terhadap kehidupan Islami.

          Kutipan tersebut merupakan bentuk analisa struktur teks yang dihubungkan dengan situasi lingkungan kehidupan Islam (konteks). Bahwa situasi lingkungan kehidupan Islam membuka cakrawala berpikir dan menghubungkan skemata analis adanya keterhubungan antara teks dan konteks. Konteks kehidupan umat Muslim sekarang yang dilandah arus globalisasi hingga ke pelosok tanah air menjadi keprihatinan kalangan Muballig jikalau arus ini mempengaruhi pilosofi kehidupan Islami.
          Karakteristik ketiga adalah historis, yang digunakan dalam AWK untuk menginterpretasi wacana. Menurut Eriyanto (2003), pemahaman teks wacana hanya akan diperoleh apabila penganalisis dapat memberikan konteks historis. Dalam konteks historis akan tampak bagaimana teks dihasilkan. Dengan mengetahui situasi tertentu yang ada pada teks ketika dihasilkan sangat besar perannya dalam memaknai sebuah teks.
         Fakta tersebut tergambar dalam kutipan (3) wacana khotbah Suara Muhammadiyah  berikut:
(3)“Kaum Muslimin sebenarnya tidak sedikit jumlahnya yang terpelajar sejak zaman yang silam.”
          Kutipan tersebut menggambarkan bahwa secara historis kaum Muslimin sejak zaman silam telah berjaya dalam bidang ilmu pengetahuan. Kaum Muslim sejak dahulu taat dalam menjalankan perintah agama. Berbeda halnya saat ini telah berkurang jumlahnya sosok manusia yang peka serta arif dalam menyikapi masalah besar yang silih berganti persoalan umat. Maka, sebenarnya otak atau rasio semata tidak selamanya dapat memecahkan problem umat, kecuali didukung oleh kecerdasan rohani yang telah mengalami penggemblengan dengan siyam (puasa) sejak dahulu.        
          Karakteristik keempat adalah kekuasaan, yang tidak memandang wacana hanya sesuatu yang terjadi secara alamiah, wajar, dan netral, tetapi merupakan bentuk pertarungan kekuasaan. Konsep kekuasaan adalah salah satu kunci hubungan antara wacana dengan masyarakat. AWK tidak membatasi diri pada detil teks atau struktur wacana saja, tetapi juga memperhitungkan dan menghubungkan dengan kekuasaan dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan sosial budaya tertentu.
          Pada wacana tersebut tergambar adanya bentuk kekuasaan Allah terhadap manusia selaku hambanya. Allah selaku Khalik penguasa alam dan segala isinya, tak satu ciptaan pun dapat membantahnya. Fakta itu tergambar dalam kutipan wacana khotbah majalah Suara Muhammadiyah  berikut:
   (4)“Jamaah Jum’at yang dirahmati Allah, penguasa seluruh alam.”
         Kutipan tersebut memberikan keterangan tentang kekuasaan Allah yang tidak terbatas. Jagat raya dan seluruh isinya merupakan ciptaan-Nya dan dalam genggaman kekuasaannya. Seluruh alam dan isinya termasuk manusia adalah ciptaan yang harus tunduk dan patuh kepada Allah swt. Bentuk kekuasaan Allah ini diteruskan oleh Muballig lewat teks yang ingin menguasai hati dan pikiran kaum Muslim untuk tetap tunduk dan patuh kepada Allah. Muballig menginginkan adanya keteguhan hati kaum Muslim dalam mempertahankan iman (kepercayaan kepada Allah). Kutipan di atas menanamkan bentuk kekuasaan dan manusia sebagai makhluk lemah.
         Fairclough (1995) memandang bahasa sebagai praktik kekuasaan. Bahasa mengandung nilai ideologi tertentu dan dapat dianalisis secara menyeluruh. Nilai ideologis dalam kekuasaan dapat berbentuk kekuasaan dalam wacana. Senada dengan pandangan itu, Kartomihardjo (dalam Purwo, 2000) menyatakan bahwa bahasa kekuasaan atau bahasa yang menampilkan adanya kekuasaan terdapat dalam berbagai wacana, baik yang digunakan secara terang-terangan maupun digunakan secara terselubung.
         Karakteristik kelima adalah ideologi. Menurut van Dijk (1997), ideologi dalam waacana dimaksudkan untuk mengatur masalah tindakan dan praktik individu atau kelompok. Ideologi membuat anggota  kelompok akan bertindak dalam situasi yang sama, dapat menghubungkan masalah mereka, dan memberikan konstribusi dalam membentuk solidaritas dan kohesi dalam kelompok.
         Fakta tersebut dapat dilihat dalam kutipan (5) wacana Suara Muhammadiyah 16-28 Februari 2010 sebagai berikut:
(5)Akhir-akhir ini kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anak sudah meningkat semakin baik. Mereka berusaha mencari biaya sekolah merupakan prioritas pertama setelah makan dan minum. Soal keperluan pakaian, hiburan/plesir (rekreasi) tidak terlintas. Kebutuhan perkakas rumah tangga juga alat-alat yang sudah usang dan seadanya tetap dipakai asal urusan sekolah dapat terpenuhi lebih dulu.

         Kutipan di atas menggambarkan begitu perhatian publik terhadap pentingnya pendidikan menurut mereka, sehingga menjadikan  pendidikan sebagai prioritas utama, sementara kebutuhan lain menjadi urutan prioritas berikutnya. Mereka bertindak pada situasi yang sama dalam bentuk solidaritas umat.
Menurut Thompson (1984), secara mendasar ideologi berhubungan dengan proses pembenaran hubungan kekuasaan yang tidak simetris. Penggunaan istilah demikian disebut konsepsi kritis ideologi. Biasanya penggunaan istilah itu mengandung konotasi negatif yang selalu mengikat analisa idielogi pada pertanyaan kritis. Lebih lanjut Thompson (1984), menjelaskan bahwa teori ideologi pada umumnya menempatkan “makna” dan “ide” yang mempengaruhi konsepsi dan aktivitas individu atau kelompok yang membentuk dunia sosial. Pada akhirnya terjadilah analisa ideologi yang difokuskan pada ciri bahasa dan makna pada satu sisi, dan bentuk-bentuk bahasa diaplikasikan pada teks literal dan interaksi sosial pada sisi lain. Dengan demikian, AWK dengan menggunakan teori-teori ideologi dapat menginterpretasikan berbagai tujuan ideologi yang terdapat dalam wacana, seperti tujuan untuk mempengaruhi, memperoleh dukungan publik, dan memarjinalkan individu atau kelompok.
          Fairclough juga membagi analisis wacana dalam tiga dimensi: teks, discourse practice, dan sociocultural practice. Dalam model Fairclough, teks di sini dianalisis secara linguistik, dengan melihat kosakata, semantik, dan tata kalimat. Ia juga memasukkan koherensi dan kohesivitas, bagaimana antarkata atau kalimat tersebut digabung sehingga membentuk pengertian. Semua elemen yang dianalisis tersebut dipakai untuk melihat tiga masalah berikut.
Pertama, ideasional yang merujuk pada representasi tertentu yang ingin ditampilkan dalam teks, yang umumnya membawa muatan ideologis tertentu. Analisis ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana sesuatu ditampilkan dalam teks yang bisa jadi membawa muatan ideologi tertentu. Kedua, relasi merujuk pada analisis bagaimana konstruksi hubungan di antara wartawan dengan pembaca, seperti apakah teks disampaikan secara informal atau formal, terbuka atau tertutup. Ketiga, identitas merujuk pada konstruksi tertentu dari identitas wartawan dan pembaca, serta bagaimana personal dan identitas ini hendak ditampilkan.

          Model Fairclough ini dalam analisis wacana:
A. Teks
         Teks khotbah ini berbicara mengenai “pembinaan generasi muda masa depan,  wacana ini mengajak masyarakat menjadi insan-insan Muslimin supaya tetep berjalan di atas rel Islam. Informasi faktual tersebut dapat ditemukan di Suara Muahammadiyah, 16-28 Februari 2010 sebagai berikut:

Kutipan (6): Hendaknya segala tingkah laku, tutur kata, pola pikir, dan pelbagai aktifitas manusia berorientasikanlah dengan jalur-jalur ajaran agama Islam meliputi akidahnya, ibadahnya, muamalahnya, pergaulannya, pernikahannya, makan-minumnya, berpakaiannya, pendek kata meliputi seluruh gerak-gerik dan tarikan nafasnya pun hendaklah bersumber dari ajaran Islam.
          
            Kutipan tersebut merupakan suatu ajakan yang menggugah hati, selaku muballig untuk mempengaruhi simpatisan publik. Pada akhirnya Muballig itu menginginkan adanya perubahan sikap dan prilaku publik dalam tatanan kehidupan beragama dan berbangsa pada masa yang akan datang. Sementara itu memang sebahagian publik belum memiliki keimanan yang sempurna, perintah salat masih diabaikan, padahal salat merupakan perintah Allah yang sangat agung. Apalagi berbicara muamalah, etika bergaul, cara makan dan minum yang benar menurut Islam sebagian publik belum memperhatikan bagaimana yang sebenarnya.

B. Analisis Discourse Practice
         Discourse practice mengantarai teks dengan konteks sosial budaya (sosiocultural practice). Artinya hubungan antara sosialbudaya dengan teks bersifat tidak langsung dan disambungkan dengan discourse practice. Pada tingkatan discourse practice. Seperti dikatakan Fairclough (dalam Rohmani, 2003:38) pertentangan kelas merupakan suatu kebutuhan dan sifat suatu sistem sosial yang melekat dimana pemaksimalan keuntungan-keuntungan dan kekuasaan kelas bergantung pada pemaksimalan eksploitasinya dan dominasi dari yang lain.  Tergambar dalam kutipan (7) berikut:
(7)Pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah begitu marak dan merata, sehingga berakibat betapa banyaknya gadis yang layu sebelum mekar, dua tiga bulan kawin bayinya sudah lahir, sulit untuk dibendung dan dicegah.


C. Sociocultural Practice
          Analisis sociocultural practice didasarkan pada asumsi bahwa konteks sosial yang ada di luar media mempengeruhi bagaimana wacana yang muncul dalam media. Bagaimana sociocultural practice ini menentukan teks? Menurut Fairclough, hubungan itu bukan langsung, tetapi dimediasi oleh discourse practice.
Hal ini sesuai dengan pandangan Fairclough, bahwa praktik wacana bisa jadi menampilkan afek ideologi yang dapat memproduksi hubungan kekuasaan yang tidak imbang antara kelas sosial. Hubungan kelas sosial itu dapat berupa perbedaan jenis kelamin, kelompok  minoritas dan mayoritas, dan kelompok kuat dengan kelompok yang lemah.
Interpretasi Kekuasaan
        Sebab konsep kekuasaan dalam wacana adalah menghubungkan wacana dengan dengan masyarakat. Pemakaian bahasa yang ditulis wartawan pada dasarnya bukanlah hanya terbatas pada penulis dan pembaca, tetapi merupakan bagian yang integral dari kehidupan masyarakat dihubungkan dengan kondisi sosial yang ada, baik aspek politik, ekonomi, dan budaya tertentu  (Eriyanto, 2003).
        Kekuasaan dalam hubungannya dengan wacana sangat penting dijadikan sebagai kontrol.  Seseorang atau kelompok mengontrol orang atau kelompok lain lewat wacana. Bentuk kontrol lewat wacana tersebut bisa dalam bentuk kontrol konteks atau struktur wacana. Tergambar dalam kutipan (8) berikut:
(8)Jamaah Jum’at kaum Muslimin yang dirahmati Allah, marilah kita bersama-sama mencermati dengan sepenuh hati firman Ilahi Rabbi.
         Kutipan tersebut menggambarkan bahwa sang Muballig memegang kekuasaan  luas mengajak dan mempengaruhi jamaah untuk berbuat sesuatu, yaitu mencermati firman Allah swt.
Interpretasi Ideologi
         Fairclough, (1995) persoalan ideologi merupakan unsur utama dari penelitian analisis wacana kritis. Dari segi ideologi ditemukan beberapa kata, kelompok kata, dan kalimat dalam wacana khotbah “Membina Generasi Muda Menatap Masa Depan Gemilang,” yang dapat diinterpretasikan secara jelas dalam teks berikut:
generasi muda harapan bangsa, pengusul RUU APP adalah kelompok yang memprihatinkan, pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah marak dan merata, Al-Qur’an sudah mulai ditinggalka.

     Kata-kata dan kelompok kata yang disampaikan seperti; generasi muda harapan bangsa, pengusul RUU APP adalah kelompok yang memprihatinkan merupakan bentuk pertarungan bernuangsa politik. Kelompok kata; pergaulan bebas antara pria dan wanita sudah marak dan merata, Al-Qur’an sudah mulai ditinggalkan bernuangsa marjinal.

PENUTUP
           Keberadaan muballig di negeri ini menjadi sosok yang begitu disegani dan menjadi panutan. Penghormatan dari berbagai kalangan kepada tokoh agama ini bukannya tanpa alasan. Para ustad dengan kelebihan pengetahuan agama Islam seringkali dilihat sebagai orang yang senantiasa dapat memahami keagunan Allah swt., dan juga dapat menyibak rahasia alam.  Muballig dengan kelebihan pengetahuan dan penghayatannya terhadap agama, oleh masyarakat dianggap sebagai guru pembimbing yang memiliki kemampuan khusus di bidang keagamaan.
          Melihat realitas kelebihan muballig tersebut, sudah barang tentu memiliki kharisma dan pengaruh yang cukup kuat di masyarakat. Muballig dengan segala kelebihannya serta betapapun kecilnya lingkup kawasan pengaruhnya, tentulah dapat digolongkan sebagai figur ideal yang mempunyai kedudukan  kultural dan struktural yang tinggi dalam masyarakat, baik di bidang keagamaan, ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
         Hal ini yang menarik penulis menganalisis teks khotbah tersebut lewat AWK. Wacana Membina Generasi Muda Menatap Masa Depan Gemilang tersebut penulis menganalisis dengan AWK, dan secara khusus dari aspek tindakan, konteks, historis, ideologi dan kekuasaan.







DAFTAR PUSTAKA

Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis teks Media. Yogyakarta: LKis.

Suara Muhammadiyah. 2009. Membina Generasi Muda Menatap Masa Depan Gemilang. Majalah No.4/Th.ke-94 16-28 Februari, hlm. 31-32.

Thompson, John B. 1984. Studies in The Theory of Ideology. Berkeley: Universitas of California Press




Tidak ada komentar:

Posting Komentar