Jumat, 06 April 2012

EVALUASI TES


BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Hasil kegiatan belajar mengajar peserta didik yang berupa kemampuan kognitif dan psikomotor ditentukan oleh kondisi afektif peserta didik. Peserta didik yang tidak berminat dalam suatu mata pelajaran tidak dapat diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, tugas guru adalah membangkitkan minat peserta didik terhadap mata pelajaran.
Hasil ujian atau pengamatan harus dianalisis dan ditindaklanjuti melalui program remedial dan pengayaan. Sebelum sampai program ini, di hadapan guru terpajang tugas yang amat berat yaitu merancang evaluasi, mengadakan evaluasi tes, dan pemanfaatan hasil tes.
Kondisi guru kita saat ini, cenderung mengabaikan tugasnya sebagai perancang evaluasi, pengevaluasian tes, dan pemanfaatan hasil tes. Hal itu, disebabkan oleh kurangnya pemahaman mereka tentang cara mengevaluasi tes dan pemanfaatan hasil tes. Guru cenderung menilai hasil belajar berdasarkan perasaannya. Jika kondisi ini dibiarkan berlarut-larut, maka pendidikan kita kehilangan arah. Bukankah pendidikan sekarang selalui diukur dari nilai. Penetapan nilai merupakan kegiatan yang dilakukan oleh guru.

B.   Permasalahan
Berdasarkan Latar Belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
1.    Bagaimana cara melakukan evaluasi tes?
2.    Bagaimana teknik menganalisis hasil tes dan tindak lanjut hasil tes?
C.   Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini, adalah:
1.    Menguraikan secara teoretis dan praktis tentang cara melakukan evaluasi tes.
2.    Menguraikan teknik menganalisis hasil tes dan memanfaatkannya untuk kegiatan tindak lanjut hasil tes.
D.   Manfaat
Manfaat yang dapat dipetik dari membaca makalah ini, adalah:
1.    Guru dan mahasiswa calon pendidik dapat mengetahui seluk-beluk cara melakukan evaluasi tes.
2.    Guru dan calon pendidik memahami teknik menganalisis hasil tes dan menindaklanjuti hasil analisis tersebut.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Evaluasi Tes
Evaluasi tes dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas butir tes/butir soal. Butir-butir tes dari suatu tes yang telah disiapkan harus ditelaah dulu sebelum digunakan. Cara menelaah butir-butir tes tersebut adalah : (1) telaah secara kualitatif, yakni telaah oleh teman sejawat dalam rumpun keahlian yang sama, dilakukan sebelum tes diujicoba atau digunakan, (2) telaah secara kuantitatif yakni analisis berdasar hasil uji coba atau hasil penggunaaan tes, dilakukan setelah tes diujicoba atau digunakan. Hasil telaah ini merupakan masukan untuk perbaikan tes. Selanjutnya hasil tes dianalisis untuk mengetahui kompetensi dasar yang telah dicapai dan yang belum dicapai.
Persyaratan penting untuk dapat menyiapkan butir-butir tes dengan baik adalah : (1) menguasai materi yang diujikan, dan (2) menguasai teknik penulisan soal, (3) menguasai penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan yang benar. Untuk itu diperlukan program pelatihan agar semua guru memiliki tiga kemampuan tersebut.
Telaah butir tes dilakukan terhadap ranah materi, ranah konstruksi, dan ranah bahasa. Ranah materi berkait dengan substansi keilmuan yang ditanyakan serta tingkat berpikir yang terlibat. Ranah konstruksi berkaitan dengan teknik penulisan soal baik bentuk objektif, maupun yang non-objektif. Bentuk objektif ini bisa berupa tes pilihan dan tes uraian. Pada bidang tertentu, seperti Matematika dan Biologi, walaupun digunakan bentuk soal uraian namun apabila jawabannya hanya satu, maka disebut dengan uraian objektif. Ranah bahasa berkait dengan kekomunikatifan/kejelasan hal yang ditanyakan.
Kualitas butir tes juga dilihat dari tingkat berpikir yang diperlukan dalam mengerjakaan soal. Apabila digunakan taksonomi ranah kognitif menurut Bloom, maka sebaiknya soal lebih banyak pada ranah pemahaman, aplikasi, dan analisis. Untuk membuat soal tingkat ini tidak mudah, karena aplikasi yang dimaksud adalah yang belum diajarkan, namun konsepnya sudah diajarkan.Oleh karena itu disarankan penyiapan soal harus dilakukan secara bertahap, misalnya setiap selesai mengajar disiapkan soal untuk suatu konsep tertentu. Kelemahan yang sering terjadi adalah lebih banyak soal yang menanyakan tentang hafalan saja. Pengecoh dalam soal bentuk pilihan ganda sebaiknya merupakan jawaban salah apabila peserta didik diberi soal bentuk uraian. Selain itu, sering waktu yang disediakan untuk mengerjakan soal ujian tidak cukup. Perlu diingat bahwa tes yang digunakan pada dasarnya adalah tes kemampuan bukan tes kecepatan.
Butir soal yang memenuhi persyaratan dari ranah materi, konstruksi, dan bahasa dapat digunakan untuk ujian. Selanjutnya hasil ujiari ini dianalisis lagi untuk mengetahui konsep atau tema yang sulit dipahami peserta didik, dan kemudian ditindak lanjuti dengan remedial, yaitu menjelaskan kembali tentang konsep atau teori yang kurang dipahami peserta didik.
Ketidaktercapaian dalam penguasan suatu konsep atau tema dalam kompetensi dasar bisa disebabkan kemampuan peserta didik yang rendah, kemampuan guru dalam memilih media, termasuk metode mengajar atau pembelajaran, atau kemungkinan bahan ajar yang tergolong sulit. Setelah ujian, semua guru harus memiliki informasi tentang kompetensi dasar yang sulit dicapai peserta didik. Informasi ini selanjutnya dibicarakan di tingkat sekolah terutama dengan teman sejawat yang mengajar mata pelajaran yang sama. Bisa saja terjadi suatu mata pelajaran termasuk sulit karena mata pelajaran pendukung tidak atau kurang berperan.
Sumber kesalahan pengukuran adalah pada: penentuan materi ujian, pihak yang diukur, pihak yang mengukur, dan Iingkungan. Variasi kesehatan fisik dan emosi orang selalu bervariasi dari waktu ke waktu. Untuk mengatasi kesalahan pada pihak yang diukur, disarankan banyak melakukan pengukuran, sedangkan untuk mengatasi kesalahan pada pihak yang mengukur, ia harus dilatih agar mampu menyusun alat ukur dengan baik dan mampu menyelenggarakan pengukuran dengan kondisi yang standar. Pengukuran dalam bentuk tes ini bisa berupa kuis mingguan, ulangan mingguan, atau tes blok.
Kesalahan pada subjek yang mengukur sering disebabkan bias atau subjektivitas dalam melakukan pengukuran dan penilaian. Bias berarti mereka memiliki kemampuan sama tetapi hasil tes tidak sama, Untuk mengatasi hal tersebut, soal tes harus benar-benar ditelaah dan dianalis. Selain itu, perlu disediakan pedoman penyekoran dan penilaian agar hasil penyekoran bisa lebih objektif.
Kerapian tulisan, disiplin, dan ranah afektif lainnya sering terlibat di dalamnya. Pada dasarnya pengukuran dilakukan terhadap satu dimensi, ada dimensi kognitif,dimensi psikomotor,dan dimensi afektif.Pengetesan pada dasarnya mengukur satu dimensi yaitu kemampuan peserta didik dalam suatu mata pelajaran, sehingga komponen kerapian tulisan tidak dinilai. Apabila ingin mengukur kemampuan peserta didik dalam beberapa dimensi seperti dimensi kemampuan berpikir, keterampilan mengerjakan tugas, dan disiplin keuletan, maka ketiga dimensi itu harus diukur sendiri-sendiri dan hasilnya dinyatakan dalam bentuk profil peserta didik dalam tiga dimensi tersebut.
Setelah butir-butir tes/butir-butir soal ditelaah maka langkah selanjutnya dalam pengembangan tes adalah mengumpulkan data empiris melalui uji coba. Uji coba dapat dilakukan untuk butir-butir soal yang akan diujikan dalam skala luas, seperti ujian tingkat regional atau nasional dan hasilnya dimasukkan ke dalam bank soal. Untuk soal buatan guru yang digunakan di kelas, uji coba tes tidak perlu dilakukan. Analisis butir soal dapat dilakukan setelah tes digunakan. Hal-hal yang harus diperhatikan/dilakukan dalam Evaluasi Tes adalah Analisis ButirTes/soal dan PerakitanTes.
1. Analisis Butir Tes/Soal
Untuk mendapatkan soal yang baik maka perlu dilakukan analisis soal. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa ada dua cara menganalisis soal, yaitu analisis soal secara teoretik atau kualitatif dan analisis soal secara empiris atau analisis soal secara kuantitatif.
Analisis soal secara teoretik atau analisis kualitatif sering juga disebut dengan telaah butir ini dilakukan sebelum dilakukan uji coba sebagaimana telah diuraikan di atas, yakni dengan cara mencermati butir butir soal yang telah disusun dilihat dari: kesesuaian dengan kompetensi dasar dan indikator yang diukur serta pemenuhan persyaratan baik dari ranah materi, konstruks, dan bahasa.
Ada dua cara untuk melakukan analisis kuantitatif,yaitu analisis cara klasik/tradisional dan analisis cara modern dengan mendasarkan pada item response theory (IRT). Analisis butir soal secara kfasik dibedakan menjadi dua macam berdasarkan tujuan penilaian yang dilakukan. Jika menggunakan pendekatan penilaian acuan kriteria, maka butir soal yang digunakan harus memenuhi standar butir soal acuan kriteria (criterion referenced test).
Demikian pula jika menggunakan pendekatan penilaian acuan norma, maka butir soal yang kita miliki harus memenuhi standar sebagai butir soal acuan norma (norm referenced test). Walaupun demikian beberapa formula dalam analisis butir untuk tes acuan kriteria dan acuan norma adalah sama, namun penafsirannya berbeda.
a.   Analisis Butir Soal Acuan Kriteria
Tujuan penilaian acuan kriteria adalah untuk mengetahui kemampuan seseorang menurut kriteria tertentu. Jika penilaian yang dimaksud adalah penilaian formatif, maka penilaian acuan kriteria diterapkan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan yang ditargetkan dapat dikuasai oleh peserta didik.
Dengan demikian, syarat pertama yang harus dipenuhi adalah bahwa butir soal yang digunakan harus mencerminkan indikator kemampuan yang ditargetkan.Selain itu,karena pembelajaran yang diselenggarakan untuk mengubah kondisi ke arah yang lebih baik, baik dalam hal kemampuan kognitif, afektif, maupun psikomotor, maka yang ditargetkan untuk dikuasai adalah kemampuan yang tidak dapat dikuasai peserta didik sebelum peserta didik mengikuti proses pembelajaran. Oleh karena itu, saat dilakukan pengukuran sebelum proses pembelajaran para peserta didik tidak akan dapat mengerjakan butir soal yang diujikan.
Peserta tes yang menjawab benar terhadap indikator kompetensi dasar yang bersangkutan, yaitu perbandingan antara jumlah peserta tes yang menjawab benar dengan jumlah peserta tes seluruhnya.
         B
P=
         T

P=  tingkat pencapaian
B= jumlah peserta tes yang menjawab benar
T= jumlah seluruh peserta tes

Jika semua peserta didik berhasil menguasai suatu indikator kompetensi dasar, maka P = I dan butir soal itu menjadi dinyatakan mudah bagi peserta didik yang telah berhasil menguasai kompetensi dasar yang bersangkutan. Jika  P- 0        berarti semua peserta didik gagal menguasainya. Bila hasil empiris P = 0 sementara dari telaah secara kualitatif butir soal sudah memenuhi persyaratan, maka dapat ditafsirkan bahwa peserta didik belum menguasai kompetensi dasar atau proses pembelajaran yang telah dilaksanakan belum berhasil mencapai tujuan.
Oleh karena itu, karakteristik utama butir soal acuan kriteria tercermin dari besarnya harga indeks sensitivitas yang menunjukkan efektivitas proses pembelajaran. Hal ini dapat diketahui manakala dilakukan tes awal atau pretest (sebelum pembelajaran) dan tes setelah pembelajaran atau posttest (Gronlund dan Linn, 1990 dalam Ghafor, 2004).
Indeks sensitivitas butir soal memiliki interval - I sampai dengan      I . Indeks sentivitas suatu butir soal (Is) ujian formatif:
            RA - RB
Ps =
                 T

RA   =     Banyaknya peserta didik yang berhasil mengerjakan suatu butir soal sesudah proses pembelajaran.
RB   =     Banyaknya peserta didik yang berhasil mengerjakan suatu butir soal sebelum proses pembelajaran
T     =     Banyaknya peserta didik yang mengikuti ujian
Jika tidak ada tes awal, maka dapat dilihat dari besarnya tingkat pencapaiannya berdasar hasil tes akhir (posttest). Jika tingkat pencapaian suatu butir kecil (banyak peserta didik yang gagal) maka proses pembelajaran tidak efektif. Namun demikian seperti telah dikemukakan di atas, harus diperhatikan pula bagaimana kualitas butir tersebut secara kualitatif.Jika hasil analisis secara kualitatif menunjukkan bahwa baik dari ranah materi, konstruksi maupun bahasa, tes sudah memenuhi syarat, dapat diartikan bahwa rendahnya indeks kesukaran menunjukkan tidak efektifnya proses pembelajarannya.
Pemakaian indeks daya pembeda butir untuk butir soal acuan kriteria tidak seperti untuk butir pada soal acuan norma. Indeks daya beda pada dasarnya adalah perbandingan antara banyaknya anggota kelompok yang berhasil (kelompok atas) dan banyaknya anggota kelompok yang gagal (kelompok bawah).
Daya beda dinyatakan baik untuk butir soal acuan norma jika minimum besarnya 0,3. Pada butir soal acuan kriteria, jika seluruh peserta didik sudah berhasil menguasai indikator dari suatu kompetensi dasar, maka indeks daya beda akan sebesar 0. Namun           butir ini tetap dinayatakan baik dan tetap dapat dipakai untuk menunjukkan efektivitas proses pembelajaran manakala seluruh peserta didik sebelum mengalami proses pembelajaran tidak dapat mengerjakan butir soal yang bersangkutan. Dengan kata lain, jika sebelum pembelajaran peserta didik belum menguasai indikator kompetensi dasar yang dimaksud, dan setelah pembelajaran seluruh peserta didik berhasil mengerjakan butir soal yang dijadikan indikator kompetensi dasar tersebut, maka butir soalnya tetap dinyatakan baik atau tetap dapat dipakai untuk mengukur keberhasilan belajar.
Berdasarkan  uraian di atas, dalam menyiapkan butir soal untuk mengukur pencapaian kompetensi dasar yang telah berhasil dikuasai peserta didik melalui proses pembelajaran tetap harus menggunakan analisis butir soal menurut acuan kriteria, dan tidak menggunakan analisis butir soal acuan norma.
b. Analisis Butir Soal Acuan Norma
Tujuan penilaian acuan norma adalah untuk mengetahui kedudukan peserta didik dalam kelompoknya (dalam kelas).Oleh karena itu butir-butir soal yang dipakai dalam ujian tidak boleh terlalu sukar atau terlalu mudah, sehingga kisaran indeks kesukarannya 0,3 sampai 0,7 dan harus dapat dapat membedakan mana peserta didik yang pandai dan yang tidak pandai dalam suatu kelas, yang tercermin dari besarnya harga indeks daya beda minimal 0,3.
Sesuai dengan prinsip pendidikan berbasis kompetensi, sistem penilaian yang digunakan adalah berbasis kompetensi dasar, maka acuan dalam mengembangkan, menganalisis,dan menafsirkan hasil ujian adalah kriteria. Oleh karena itu prinsip penggunaan acuan norma tidak disajikan pada pedoman ini.        
c. Analisis Butir Soal Menurut Teori Respons Butir
Apa yang sudah diuraikan di atas adalah model analisis butir yang klasik,dengan asumsi bahwa : I)  tidak ada korelasi antara skor yang sebenarnya dan skor kesalahan, 2) sepanjang tidak terjadi kesalahan sistematik, maka tidak ada korelasi antara kesalahan acak pada suatu pengukuran dengan kesalahan acak pada ulangan pengukuran, 3)          besarnya rerata kesalahan acak sama dengan nol.
Penggunaan teori klasik dalam menganalisis butir memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut.
I )   Statistik butir tes berupa tingkat kesukaran dan daya beda butir soal, sangat tergantung kepada karakteristik peserta tes. Jika kemampuan peserta rendah, maka tingkat kesukaran butir soal akan tinggi (indeks kesukaran kecil). Besarnya daya beda yang dinyatakan sebagai koefisien korelasi point biserial sangat tergantung kepada homogenitas kelompok peserta tes.
2)   Estimasi kemampuan peserta tergantung kepada butir soal yang diujikan. Bila indeks kesukaran kecil, estimasi kemampuan seseorang akan tinggi, demikian pula sebaliknya. Besar kemampuan seseorang tergantung pada keadaan yang digunakan dalam suatu tes.
3) Estimasi skor kesalahan berlaku untuk semua peserta tes. Kesalahan untuktiap peserta tes besarnya sama,yang dinyatakan dalam bentuk kesalahan baku pengukuran.
4) Tidak ada informasi tentang respons setiap peserta ujian terhadap tiap butir soal.
5)   Estimasi keterandalan alat tes dengan teknik belah dua, teknik belah tiga, Cronbach alpha, dan sebagainya. menggunakan asumsi paralel yang sulit dipenuhi.
Karena adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka muncullah apa yang disebut teori respons butir yang berusaha mengatasi kelemahan tersebut. Menurut teori respons butir, perilaku seseorang dapat dijelaskan oleh karakteristik orang yang bersangkutan sampai pada batas-batas tertentu. Karakteristik tersebut bermacam-macam, seperti kemampuan verbal, kemampuan psikomotor, kemampuan kognitif, dsb. Karakteristik tersebut disebut trait, dan seseorang dapat memiliki lebih dari satu trait. Setiap trait, merupakan unjuk kerja dari orang yang bersangkutan. Setiap trait merupakan dimensi kemampuan seseorang. Suatu tes yang terdiri dari n butir yang mengukur k trait, jika dikerjakan seseorang akan mendudukkan orang tersebut pada suatu titik dalam k dimensi ruang. Oleh karena itu harus ada asumsi bahwa kemampuan yang diukur benar-benar bersifat unidimensional. Asumsi ini sama dengan asumsi yang digunakan dalam teori klasik.
Unjuk kerja seseorang terhadap suatu butir soal tidak akan mempengaruhi unjuk kerja terhadap butir soal yang lain. Dengan demikian, respons seseorang terhadap masing-masing butir soal bersifat independen atau tepatnya local-independent. Oleh karena itu butir-butir tes diharapkan mampu mengukur satu trait saja agar unidimensi. Berdasarkan teori respons butir, hubungan antara setiap butir soal akan mempunyai kurva karakteristik butir yang merupakan kurva regresi non-linier skor butir terhadap trait atau kemampuan. Fungsi tersebut menggambarkan hubungan peluang sukses menjawab suatu butir soal dengan kemampuan yang diukur oleh butir soal. Kurva karakteristik butir dinyatakan dengan tiga fungsi Matematika yang menghasilkan model logistik satu parameter, dua parameter, dan tiga parameter. Model logistik dengan satu parameter merupakan model yang paling sederhana,yang dikembangkan oleh Rasch tahun 1966 dan kemudian dilanjutkan oleh Wright (dalam Ghofur, 2004:67). Dalam hal ini, parameter suatu butir merupakan tingkat kesukaran butir, sedangkan daya pembeda dianggap sama dan pseudoguessing (coba-terka) dianggap sama dengan nol. Tingkat kemampuan butir merupakan fungsi kemampuan seseorang.
Model logistik dua parameter menyatakan bahwa kemampuan seseorang dicerminkan oleh tingkat kesukaran butir dan daya pembeda, sedangkan peluang pseudoguessing sama dengan nol. Dengan demikian, seseorang yang berkemampuan rendah besarnya peluang menjaweab benar juga sama dengan nol.
Model logistik dengan tiga parameter menyatakan bahwa kemampuan seseorang tercermin dari tingkat kesukaran butir, daya pembeda, dan pseudoguessing, karena orang tidak asal tebak jika ia tidak tahu. Ia akan membaca soalnya dan difikir berulang-ulang sebelum akhirnya ia menentukan tebakannya.
Dengan tiga model tersebut kemudian dikembangkan perhitungan dengan bantuan komputer bagaimana cara menentukan kualitas suatu butir soal baik dengan model logistik dengan satu parameter,dua parameter, maupun tiga parameter.
Kelebihan.dari analisis butir soal yang mendasarkan diri pada teori respons butir yaitu mampu memberikan perhitungan yang akurat terhadap skor akhir yang diperoleh dua orang testi yang berbeda sebarannya meskipun banyaknya skor yang benar di antara mereka adalah sama. Misal, jika dari 5 butir soal yang diujikan berturut-turut dari nomor I sampai  5 hasil peserta didik A adalah       I , 0, ( , 0, I sedangkan hasil peserta didik      B adalah I , I , I , 0, 0 maka skor akhir yang diperoleh kedua peserta didik tersebut akan berbeda kalau tingkat kesukaran kelima butir soal tersebut tidak sama.
Meskipun pendekatan secara klasik memiliki kelemahan dibandingkan dengan pendekatan berdasar teori respons butir, namun pendekatan dengan teori respons butir memerlukan jumlah testi yang besar (minimum 500 orang) untuk uji cobanya. Jika dilakukan dengan metode konsistensi internal pun (langsung diujikan tanpa melalui uji coba) banyaknya testi minima) juga harus 500 orang. Dengan demikian pendekatan teori respons butir hanya dapat diterapkan untuk tes seleksi ataupun tes prestasi dengan skala yang lebih luas, seperti tes yang bertaraf regional atau nasional. Oleh karena itu, untuk mengetahui kualitas butir soal/ters buatan guru untuk keperluan pembelajaran sehari-hari di kelas sampai pada ulangan umum kenaikan kelas yang bukan dalam bentuk Ulangan Umum Bersama (UUB) tetap lebih cocok menggunakan pendekatan secara klasik.
Tes untuk kelas sesuai kondisinya menggunakan teori klasik.Tes untuk tingkat yang lebih luas seperti untuk tingkat regional atau nasional digunakan teori respons butir.Oleh karena itu,sistem penilaian berbasis kompetensi tetap menggunakan teori tes klasik karena tes yang dikembangkan banyak digunakan di kelas. Namun untuk peserta yang banyak sebaiknya digunakan teori repons butir.
2. Perakitan Tes
Setelah seluruh butir tes/butir soal ditelaah dari ranah materi, konstruksi, dan bahasa, kemudian di kelompokkan menjadi tiga, yaitu : (a) butir-butir tes yang dianggap baik atau diterima, (b) butir-butir tes yang tidak baik atau ditolak, dan (c) butir-butir tes yang kurang baik, diperbaiki. Butir-butir ta yang baik (memenuhi persyaratan yang ditetapkan) kemudian ditata atau dirakit dengan cara tertentu.
Dalam merakit tes, butir-butir soal dapat dikelompokkan menurut urutan kompetensi dasar, taraf kesukaran, dan format (komposisi bentuk soal). Urutan soal pada tiap kompetensi dasar diurutkan menu rut tingkat kesulitannya, mulai dari yang mudah ke yang
sulit. Berdasarkan format, urutan soal dimulai dari bentuk isian singkat, kemudian pilihan ganda,dan terakhir uraian.
B. Analisis HasiI Tes dan Tindak Lanjutnya
Ujian yang diselenggarakan oleh guru mempunyai banyak kegunaan,baik bagi pihak peserta didik,sekolah,ataupun bagi guru sendiri. Bagi peserta didik, hasil tes yang diselenggarakan oleh guru tersebut mempunyai banyak kegunaan,antara lain adalah:
1.  dapat mengetahui apakah ia sudah menguasai bahan yang disajikan oleh guru;
2.   dapat mengetahui bagian mana yang belum dikuasainya sehingga ia berusaha untuk mempelajarinya lagi sebagai upaya perbaikan;
 3. dapat menjadi penguatan bagi peserta didik yang sudah memperoleh skor tinggi dan menjadi dorongan untuk belajar lagi;
4.   dapat menjadi diagnosis bagi peserta didik.
Agar dapat memanfaatkan hasil ujian secara efektif, perlu dilakukan analisis terhadap hasil tes/hasil ujian yang telah dicapai oleh para peserta didik. Caranya yaitu dengan membuat tabel spesifikasi yang mampu menunjukkan konsep/subkonsep atau tema/subtema kompetensi dasar mana yang belum dikuasai peserta didik. Hal ini akan dapat terlihat bila butir-butir soal yang diujikan sudah dikelompokkan sesuai dengan penguasaan konsep/subkonsep atau tema/subtema dalam tiap indikator dan kompetensi dasar yang hendak diukur.
C. Pemanfaatan dan Pelaporan Bagi Peserta Didik
Informasi hasil belajar peserta didik dapat diperoleh melalui ujian, kuesioner atau angket, wawancara, atau pengamatan. Informasi ranah kognitip dan psikomotor diperoleh melalui ujian, sedang ranah afektif diperoleh melalui angket dan pengamatan' di kelas. Informasi hasil ujian dapat dimanfaatkan peserta didik untuk:
1 .  Mengetahui kemajuan hasil belajar diri
2.   Mengetahui konsep-kosep atau teori-teori yang belum dikuasai.
3.   Memotivasi diri untuk belajar lebih baik.
4.   Memperbaiki strategi belajar.
Untuk memberi informasi yang akurat agar dapat dimanfaatkan peserta didik seoptimal mungkin, maka laporan yang diberikan kepada peserta didik harus berisi tentang:
1 .  Hasil pencapaian belajar peserta didik yang dinyatakan dalam bentuk kompetensi dasar yang sudah dicapai dan yang belum dicapai.
2.   Kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam semua mata pelajaran
3.   Minat peserta didik pada masing-masing mata pelajaran. Selain itu redaksi laporan harus menggunakan bahasa yang dapat memotivasi peserta didik untuk belajar lebih baik. Hasil ujian menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, sehingga dalam format laporan digunakan istilah hasil belajar.
D. Pemanfaatan dan Pelaporan Hasil Ujian untuk Orang Tua
Informasi hasil ujian dimanfaatkan oleh orang tua untuk memotivasi putranya untuk belajar yang lebih baik dan untuk mencari strategi dalam membantu anaknya belajar. Untuk itu, diperlukan informasi yang akurat tentang hasil ujian peserta didik yang meliputi kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam ranah kognitif, psikomotor, dan afektif, kemajuan belajar peserta didik dibandingkan dengan dirinya sendiri, dibandingkan dengan kompetensi dasar yang harus dimiliki, dan dibandingkan dengan kelompoknya. Informasi ini digunakan orang tua untuk:
1.   membantu anaknya belajar,
2.   memotivasi anaknya belajar,
3.   membantu sekolah untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, dan
4.   membantu sekolah dalam melengkapi fasilitas belajar.
Untuk memenuhi kebutuhan orang tua dalam meningkatkan proses belajar mengajar, bentuk laporan hasil ujian harus mencakup tiga ranah, yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif, dan lebih rind lagi meliputi: kelemahan dan kekuatan peserta didik putranya, keterampilan peserta didik dalam melakukan tugas, dan minat peserta didik terhadap mata pelajaran tertentu.
E. Pemanfaatan dan Pelaporan Hasil untuk Guru dan Sekolah
Hasil ujian digunakan guru dan sekolah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam satu kelas, dalam satu sekolah dalam semua mata pelajaran. Hasil ujian harus dapat mendorong guru agar mengajar lebih baik, membantu guru untuk menentukan strategi mengajar yang lebih tepat, mendorong sekolah agar memberi fasilitas belajar yang lebih baik.
Laporan hasil ujian untuk           guru dan -kepala sekolah harus mencakup semua ranah hasil belajar peserta didik untuk semua pelajaran yang meliputi ranah kognitif, psikomotor, dan afektip. Informasi yang diperlukan adalah banyak dan jenis kompetensi dasar yang telah dikuasai dan yang belum oleh peserta didik, jumlah peserta didik yang dapat mencapai skor 75 atau lebih dari skala 0 sampai 100 untuk semua mata pelajaran,termasuk ranah afektif. Guru memerlukan informasi yang lebih global untuk masing-masing kelas yang diajar, sedang kepala sekolah memerlukan informasi global untuk semua kelas dalam satu sekolah, khususnya tentang hasil belajar.

BAB III
PENUTUP
A.   Kesimpulan
Evaluasi tes dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui kualitas butir tes/butir soal. Butir-butir tes dari suatu tes yang telah disiapkan harus ditelaah dulu sebelum digunakan. Cara menelaah butir-butir tes tersebut adalah : (1) telaah secara kualitatif, (2) telaah secara kuantitatif yakni analisis berdasar hasil uji coba atau hasil penggunaaan tes, dilakukan setelah tes diujicoba atau digunakan. Hasil telaah ini merupakan masukan untuk perbaikan tes. Selanjutnya hasil tes dianalisis untuk mengetahui kompetensi dasar yang telah dicapai dan yang belum dicapai.
Bagi peserta didik, hasil tes yang diselenggarakan oleh guru tersebut mempunyai banyak kegunaan,antara lain adalah: (1)  dapat mengetahui apakah ia sudah menguasai bahan yang disajikan oleh guru; (2) dapat mengetahui bagian mana yang belum dikuasainya sehingga ia berusaha untuk mempelajarinya lagi sebagai upaya perbaikan; (3) dapat menjadi penguatan bagi peserta didik yang sudah memperoleh skor tinggi dan menjadi dorongan untuk belajar lagi; (4) dapat menjadi diagnosis bagi peserta didik.
Informasi hasil ujian dapat dimanfaatkan peserta didik untuk: (1) .mengetahui kemajuan hasil belajar diri, (2) mengetahui konsep-kosep atau teori-teori yang belum dikuasai, (3) memotivasi diri untuk belajar lebih baik, dan (4) memperbaiki strategi belajar.
Informasi hasil ujian  digunakan orang tua untuk: (1)          membantu anaknya belajar, (2) memotivasi anaknya belajar, (3)   membantu sekolah untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik, dan (4) membantu sekolah dalam melengkapi fasilitas belajar.
Hasil ujian digunakan guru dan sekolah untuk mengetahui kekuatan dan kelemahan peserta didik dalam satu kelas, dalam satu sekolah dalam semua mata pelajaran. Hasil ujian harus dapat mendorong guru agar mengajar lebih baik, membantu guru untuk menentukan strategi mengajar yang lebih tepat, mendorong sekolah agar memberi fasilitas belajar yang lebih baik.
B.   Saran
Guru seyogianya  menelaah butir-butir tes baik secara kualitatif maupun kuantitatif sebelum tes itu digunakan sebagai alat ukut pembelajaran.
Masyarakat sebagai pengontrol mutu pendidikan seyogianya memberi masukan terhadap tindak lanjut hasil tes. Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, pihak sekolah, dan masyarakat.
Setiap sekolah seyogianya memberi pemahaman dan menyebarkan informasi tentang teknik menganalisis tes dan tidak lanjut hasil tes kepada semua pihak yang berkompeten pada bidang pendidikan.
Daftar Pustaka

Ghofur, Abdul. 2004. Pedoman Umum Pengembangan Penilaian. Jakarta: Puskur.
Nurgiantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta: BPFE.
Purwanto, Ngalim. 2002. Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran. Bandung; Remaja Rosdakarya.
Surapranata, Sumarna. 2004. Panduan Penulisan Tes Tertulis Implementasi Kurikulum 2004. Bandung; Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar