PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Keberhasilan
pendidikan formal sangat ditentukan oleh kegiatan pembelajaran yakni
keterpaduan antara kegiatan guru dengan kegiatan siswa. Guru sebagai tenaga
kependidikan yang berhadapan langsung dengan siswa berkewajiban untuk
senantiasa meningkatkan kemampuan profesionalnya untuk mengoptimalkan proses
pembelajaran.
Beberapa masalah yang perlu diperhatikan dalam rangka mengoptimalkan
proses pembelajaran misalnya, bagaimana menemukan cara yang terbaik untuk
menyampaikan berbagai konsep yang diajarkan sehingga siswa dapat menggunakan
dan mengingat lebih lama konsep tersebut, bagaimana seorang guru dapat
berkomunikasi secara efektif dengan siswa, bagaimana seorang siswa dapat
membuka wawasan berpikir dengan tingkat kecerdasan yang berbeda dari setiap
siswa. Sehubungan dengan hal tersebut, maka seorang guru dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran haruslah menguasai dan dapat menerapkan dengan baik
komponen strategi pembelajaran yang terdiri dari pendekatan, metode, dan teknik.
Dengan kata lain guru merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan
kualitas pendidikan karena guru adalah sumber daya aktif yang berhadapan
langsung dengan siswa dalam kegiatan pembelajaran. Tugas guru sangat kompleks
bukan hanya memberi pengetahuan tetapi menuntun kepembelajaran yang lebih
bermakna, agar siswa tidak hanya memperoleh pengetahuan tetapi juga memperoleh
penguasaan keterampilan, serta dapat menghayati berbagai peristiwa yang sarat
dengan nilai-nilai kehidupan sehingga terjadi hubungan antara ilmu yang
diperoleh di sekolah dengan kemampuan yang dibutuhkan oleh dunia kerja.
Kenyataan ini menuntut guru agar lebih kreatif dan inovatif dalam melaksanakan
kegiatan pembelajaran.
Pembelajaran kontekstual mengasumsikan secara pikiran mencari
makna konteks sesuai dengan situasi nyata lingkungan seseorang, dan itu dapat
terjadi melalui pencarian hubungan yang masuk akal dan bermanfaat (Umaedi,
2002). Dengan demikian siswa menemukan hubungan yang sangat bermakna antara
ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Konsep
dipahami melalui proses penemuan pemberdayaan dan hubungan.
Salah satu
indikator rendahnya mutu pendidikan karena kurangnya penguasaan siswa terhadap
materi pembelajaran. Siswa cenderung hanya menghafal materi, tidak memahami
esensi makna materi, bahkan tidak mengetahui aplikasi tentang materi
pembelajaran di dunia nyata. Materi dan cara pembelajaran di sekolah kurang
terkait dengan konteks lingkungan kehidupan siswa, baik konteks sosial, budaya,
geografi, dan karakteristik siswa itu sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa kurang
tepatnya pendekatan pembelajaran yang selama ini berlangsung di sekolah. Padahal,
pembelajaran diyakini merupakan faktor paling esensial yang berpengaruh
terhadap kualitas lulusan. Oleh karena itu, pengembangan pendekatan
pembelajaran, yang salah satunya melalui inovasi pembelajaran kontekstual
dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan.
Pembelajaran menulis secara
tradisional lebih menekankan hasil daripada proses dengan langkah-langkah:
1. Siswa memilih topik yang ditentukan
2. Siswa langsung praktik menulis
3. Siswa mengumpulkan tulisan
4.
Guru menilai
tulisan siswa sehingga siswa jenuh dan tidak tahu proses menulis yang
sebenarnya.
Dalam konteks tersebut, siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa
manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Mereka sadar
bahwa apa yang mereka pelajari berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian
mereka memposisikan diri sebagai dirinya sendiri yang memerlukan suatu bekal
untuk masa depannya. Dengan pembelajaran berbasisi kontekstual diharapkan akan
mempermudah dalam memahami serta dalam meningkatkan motivasi belajar siswa
sehingga dapat meningkatkan hasil belajarnya.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian pada latar belakang di atas, maka masalah utama yang diteliti dalam
penelitian ini ialah “Bagaimanakah penerapan pendekatan
kontekstual dalam pembelajaran menulis?“. Masalah tersebut dirinci menjadi dua masalah
yaitu, sebagai berikut:
1. Apakah
konsep pembelajaran kontekstual itu?
2. Bagaimanakah
penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis?
C. Tujuan
Penulisan
Tujuan
yang ingin dicapai dalam penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui konsep
pembelajaran kontekstual.
2. Untuk mengetahui penerapan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis.
D. Manfaat Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah dan tujuan penulisan diharapkan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1.
Penelitian ini diharapkan memberi masukan berkenaan dengan penerapan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis.
2.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi guru-guru bahasa dan
Sastra Indonesia
sehingga dapat dijadikan acuan belajar dan mengevaluasi diri terhadap kemampuan
yang dimilikinya.
PEMBAHASAN
A.
Konsep Pembelajaran Kontekstual
Pembelajaran kontekstual atau dikenal dengan
istilah Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan adanya
keterkaitan konteks materi dan aktivitas pembelajaran dengan lingkungan dimana
siswa berada, baik lingkungan sosial, budaya, geografis, dan pemahaman materi
sebelumnya serta karakteristik siswa itu sendiri.
Pembelajaran kontekstual
dimaksudkan untuk membekali siswa dengan pengetahuan yang secara fleksibel
dapat diterapkan (ditransfer) dari suatu permasalahan ke permasalahan lain,
dari satu konteks yang didukung oleh berbagai penelitian aktual di dalam ilmu
kognitif dan teori-teori tingkah laku. Teori-teori ini dikemukakan Umedi
(2002) sebagai berikut:
1. Kontruktivisme
berbasis pengetahuan, baik intruksi langsung maupun kegiatan konstruktivisme
dapat sesuai dan efektif di dalam pencapaian tujuan belajar siswa
2. Pembelajaran
berbasis teori pertumbuhan kecerdasan, bekerja keras untuk mencapai tujuan
belajar akan memotivasi seseorang untuk terlibat dalam kegiatan yang berkaitan
dengan komitmen untuk belajar.
3. Sosialisasi,
belajar adalah proses sosial. Oleh karena itu faktor sosial dan budaya perlu
diperhatikan dalam perencanaan pengajaran. Sifat dasar sosial dari belajar
dapat juga mengendalikan penentuan tujuan belajar.
4. Pembelajaran
sosial, pengetahuan dipandang sebagai pendistribusian dan penyebaran individu,
orang lain, dan berbagai benda (Lave, 1998).
Dengan demikian belajar berdasarkan
pembelajaran kontekstual hanya terjadi jika siswa memproses informasi atau
pengetahuan baru sedemikian rupa sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan
kerangka pikir yang dimilikinya (ingatan, pengalaman, dan tanggapan).
Sistem pembelajaran kontekstual merupakan
suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan
ajar yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan
mereka sehari-hari, yaitu dengan konteks lingkungan pribadi, sosial, dan
budayanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, sistem pembelajaran kontekstual akan
mengarahkan siswa melakukan delapan komponen sebagai berikut, yaitu: melakukan
hubungan bermakna, mengerjakan tugas/pekerjaan berarti, belajar mandiri,
kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, mengarahkan kepribadian diri, mencapai
standar tinggi, dan menggunakan penilaian sebenarnya.
Melalui pendekatan kontekstual diharapkan guru
dapat menghadirkan situasi dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam
kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Hasil pembelajaran
diharapkan dapat lebih bermakna bagi siswa untuk memecahkan persoalan, berpikir
kritis, dan melaksanakan pengamatan serta menarik kesimpulan dalam kehidupan
jangka panjangnya.
Berdasarkan pemahaman tersebut, teori
pembelajaran kontekstual berfokus pada
multi aspek lingkungan belajar, diantaranya ruang kelas, laboratorium, sains,
laboratorium komputer, tempat bekerja maupun tempat-tempat lain (misalnya
ladang, sungai, dan sebagainya). Ia
mendorong para guru untuk memilih dan mendesain lingkungan belajar yang
dimungkinkan untuk mengaitkan berbagai bentuk pengalaman sosial, budaya, fisik,
dan psikologi dalam mencapai hasil belajar. Di dalam suatu lingkungan yang
demikian, siswa menemui hubungan yang sangat bermakna antara ide-ide abstrak
dan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata. Konsep dipahami melalui
proses penemuan, pemberdayaan, dan hubungan.
Dengan demikian, siswa belajar benar-benar diawali
dengan pengetahuan, pengalaman, dan
konteks keseharian yang mereka miliki yang dikaitkan dengan konsep mata pelajaran yang dipelajari di kelas, dan
selanjutnya dimungkinkan untuk mengimplementasikan dalam kehidupan keseharian mereka. Bawalah
mereka dari dunia mereka ke dunia kita, kemudian hantarkanlah mereka dari dunia kita ke dunia mereka
kembali.
Melalui pembelajaran kontekstual diharapkan
konsep-konsep materi pelajaran dapat diintegrasikan dalam konteks kehidupan
nyata dengan harapan siswa dapat memahami apa yang dipelajarinya dengan baik
dan mudah.
Beberapa ciri pembelajaran kontekstual antara
lain:
1. Siswa secara aktif terlibat dalam proses
pembelajaran,
2. Siswa belajar dari teman melalui kerja kelompok,
diskusi, dan saling mengoreksi,
3. Pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan
atau masalah yang disimulasikan,
4. Perilaku dibangun atas kesadaran diri,
5. Keterampilan dikembangkan atas dasar pemahaman,
6. Hadiah untuk perilaku baik adalah kepuasan diri,
7. Siswa mengunakan kemampuan berpikir kritis, terlibat
penuh dalam mengupayakan
terjadinya proses pembelajaran efektif, ikut bertanggungjawab atas terjadinya
pembelajaran yang efektif, dan membawa skemata masing-masing ke dalam proses
pembelajaran.
Berkaitan dengan peran guru,
agar proses pengajaran kontekstual dapat lebih efektif kaitannya dengan
pembelajaran siswa, guru diharuskan merencanakan, mengimplementasikan,
merefleksikan dan menyempurnakan pembelajaran. Untuk keperluan itu, guru harus
melaksanakan beberapa hal sebagai berikut :
1. Mengkaji konsep atau teori yang akan dipelajari oleh
siswa.
2. Memahami latar belakang dan pengalaman hidup siswa
melalui proses pengkajian secara seksama.
3. Mempelajari lingkungan sekolah dan tempat tinggal
siswa, selanjutnya memilih dan mengkaitkannya dengan konsep atau teori yang
akan dibahas dalam proses pembelajaran
kontekstual.
4. Merancang pengajaran dengan mengkaitkan konsep atau
teori yang dipelajari dengan mempertimbangkan pengalaman yang dimiliki
siswa dan lingkungan kehidupan mereka.
5. Melaksanakan pengajaran dengan selalu mendorong
siswa untuk mengkaitkan apa yang sedang dipelajari dengan pengetahuan/pengalaman
yang telah dimiliki sebelumnya dan mengkaitkan apa yang dipelajarinya dengan
fenomena kehidupan sehari-hari. Selanjutnya siswa didorong untuk membangun
kesimpulan yang merupakan pemahaman siswa
terhadap konsep/ teori yang sedang dipelajarinya.
6.
Melakukan penilaian terhadap pemahaman siswa. Hasil
penilaian tersebut dijadikan sebagai
bahan refleksi terhadap rancangan
pembelajaran dan pelaksanaannya.
Kemajuan belajar dinilai dari proses secara
berkelanjutan, bukan semata-mata dari hasilnya saja. Di dalam pembelajaran
kontekstual, evaluasi hasil pembelajaran dilakukan dengan menggunakan Authenthic
Assessment atau penilaian sebenarnya. Penilaian sebenarnya merupakan
penilaian terhadap kemampuan seseorang secara menyeluruh dari berbagai kemampuan
yang dimiliki secara nyata, dengan menghadirkan mereka ke tantangan dunia nyata
yang menuntut mereka untuk mengaplikasikan kemampuan sesuai bidangnya.
Penilaian sebenarnya bertujuan untuk
memandirikan, memberdayakan, dan mengoptimalkan kemampuan siswa dalam lingkup
kompetensi nyata dan terbuka. Melalui penilaian sebenarnya siswa memiliki
peluang untuk memperoleh skor atau nilai yang sebenar-benarnya sesuai kemampuan
yang dimilikinya untuk dapat mengikuti persaingan yang sehat demi terciptanya
sumber daya manusia yang cakap, terampil, dan profesional. Karakteristik penilaian sebenarnya antara
lain: (a) dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung, (b)
dapat digunakan untuk penilaian formatif dan sumatif, (c) kemampuan yang diukur
adalah keterampilan dan performansi, bukan mengingat fakta, (d) penilaian harus
menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keluasannya, (e)
menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (f) berkesinambungan, (g)
terintegrasi, dan (h) dapat digunakan sebagai feed back (Nurhadi, 2003).
Penerapan pembelajaran kontekstual memerlukan
guru yang dapat memahami dan mampu menyajikan suatu lingkungan belajar yang
dapat membangun dan memperluas pengalaman siswa sebelumnya dan responsif
terhadap keragaman tipe pembelajaran siswa. Pembelajaran hendaknya kontekstual
dengan berbagai aktivitas di dalamnya, dapat meningkatkan apa yang siswa
ketahui, apa yang dapat dilakukannya termasuk pengetahuan tentang bagaimana
memecahkan dunia nyata. Untuk itu
diperlukan guru yang memiliki kemampuan
mendesain dan menerapkan strategi penilaian yang sesuai dengan isi
materi, keragaman siswa, dan sekaligus dapat memberikan kesempatan kepada siswa
untuk mengekspresikan apa yang mereka ketahui termasuk bagaimana menggunakannya
di dalam dan di luar sekolah. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembelajaran
kontekstual memerlukan seorang guru yang mampu bergerak melampui bentuk
penilaian tradisional/konservatif yang selama ini dipergunakan.
Tidak ada benar atau salah di dalam strategi
penilaian, persoalannya adalah bagaimana kita dapat memilih suatu cara
penilaian yang dapat menentukan mengenai apa yang siswa ketahui dan apa yang
dapat dilakukannya. Berbagai alat ukur atau strategi hanya dapat dikatakan baik
dengan melihat sejauh mana keterkaitannya dengan tujuan dan dampak nyata (outcome)
yang diharapkan dari suatu materi pelajaran. Tujuan dan dampak suatu pelajaran
seharusnya telah ditentukan sedemikian rupa untuk mendorong ragam strategi
penilaian yang akan mengukur prestasi siswa di dalam suatu aktivitas
pembelajaran. Penilaian yang dapat mengukur penerapan pengetahuan di dalam
berbagai konteks autentik seperti yang demikian itu, dikenal dengan istilah
penilaian autentik (Authentic Assessment), penilaian autentik bertujuan
untuk menyediakan informasi yang absah/benar dan akurat mengenai apa yang
benar-benar diketahui dan dapat dilakukan oleh siswa, atau tentang kualitas
program pendidikan. Penilaian sejauhmana pengetahuan dan ketrampilan dipelajari
dengan baik berarti termasuk juga pemanfaatannya di dalam suatu konteks
kehidupan nyata yang bermakna.
Strategi penilaian yang cocok dengan kriteria
yang dimaksudkan adalah suatu kombinasi dari beberapa teknik penilaian sebagai
berikut :
1. Penilaian
kinerja (Performance assessment): penilaian kinerja dikembangkan untuk
menguji kemampuan siswa dalam mendemonstrasikan pengetahuan dan ketrampilan
(apa yang mereka ketahui dan dapat dilakukan) pada berbagai situasi nyata dan
konteks tertentu. Penilaian kinerja ini dapat dipersingkat atau diperluas dalam
bentuk pertanyaan terbuka (open-ended question) atau bentuk pilihan berguru
(multiple choice). Dalam pengertian yang lebih luas, penilaian kinerja
dapat berupa membaca, menulis, proyek, proses, pemecahan masalah, tugas
analisis, atau bentuk tugas-tugas lain yang memungkinkan siswa untuk
mendemontrasikan kemampuannya dalam memenuhi tujuan dan dampak tertentu.
2. Observasi
sistematik (System Observation), yang bermanfat untuk menyajikan
informasi tentang dampak aktivitas pembelajaran terhadap sikap siswa. Dalam hal
ini, semua siswa diobservasi secara berkala dan sering. Hasil observasi dicatat
dalam bentuk sikap khusus maupun tidak, dan selanjutnya dipergunakan oleh
pengamat (Observer) untuk
merefleksikan dan menginterpretasikan apakah petunjuk siswa sesuai dengan
tujuan dan outcome pembelajaran.
Kunci dari kebermanfaatan observasi adalah sistimatiknya. Suatu observasi
dikatakan bermanfaat, jika data dicatat dan dievaluasi serta dipergunakan untuk
meningkatkan prestasi (performa) siswa.
3. Portofolio
(Portfolio) adalah koleksi/kumpulan dari berbagai ketrampilan, ide,
minat dan keberhasilan atau prestasi siswa selama jangka waktu tertentu
memberikan gambaran perkembangan siswa setiap saat. Ia bukan harus selalu dalam
bentuk catatan atau tulisan, karena siswa yang tidak memiliki keterbatasan
kemampuan dalam menulis dapat juga menyampaikan pemahaman dan kinerjanya dengan
menggunakan gambar, model fisik atau alat peraga. Awalnya portfolio
dipergunakan untuk menunjukkan prestasi (performan)
siswa di dalam berbagai bidang termasuk arsitektur, seni grafik, fotograpi
dan penulisan, tetapi sekarang ini, ia juga telah dipergunakan untuk memperoleh
contoh yang presentatif dari pekerjaan
siswa dalam satu disiplin (mata pelajaran) selama jangka waktu tertentu.
Seringkali siswa diberi kesempatan untuk menyeleksi pekerjaan yang mereka
rasakan terbaik untuk mempresentasikan pengetahuan dan usaha mereka selama
dalam tingkat/kelas tertentu misalnya nilai ujian yang terbaik, keberhasilannya
dalam merancang suatu percobaan dan sebagainya. Portfolio sangat berguna bagi
siswa dalam rangka mengembangkan keahliannya untuk menilai diri sendiri dan
juga memberikan kesempatan kepada mereka untuk memikirkan perkembangan dirinya.
Oleh karena itu, portfolio seharusnya dikumpulkan secara terintegrasi dan
bersifat reflektif, sehingga siswa mampu melihat gambaran yang luas mengenai
bagaimana dia membangun pengetahuan dan keahlian/ ketrampilannya serta menilai
efektifitas kinerjanya.
4.
Jurnal sains (Journal) merupakan suatu
proses refleksi dimana siswa berpikir tentang
proses belajar dan hasilnya, kemudian menuliskan ide-ide, minat dan
pengalamannya. Dengan kata lain jurnal membantu siswa dalam mengorganisasikan
cara berpikirnya dan menuangkannya secara eksplisit dalam bentuk gambar,
tulisan dan bentuk lainnya.
5.
Jurnal menyajikan suatu cara bagi siswa untuk
merefleksikan atau mengkaitkan pemikirannya dengan pemikiran sebelumnya dan
kemudian guru menguji refleksi tersebut untuk mengetahui atau mengumpulkan
informasi mengenai sejauhmana pemahaman berpikir siswa. Jurnal sangat tepat
untuk mendokumentasikan perubahan persepsi siswa terhadap diri mereka sendiri
dan kemampuannya.
B. Penerapan Pendekatan Kontekstual dalam
Pembelajaran Menulis
Dalam
strategi ini ada tujuh elemen penting, yaitu: penemuan (inquiry), pertanyaan
(questioning), konstruktivistik (constructivism), pemodelan (modeling),
masyarakat belajar (learning community), penilaian autentik (authentic
assessment), dan refleksi (reflection). Diharapkan ke tujuh unsur
ini dapat diaplikasikan dalam keseluruhan proses pembelajaran menulis.
1. Penemuan
(Inquiry)
Penemuan (inquiry) merupakan bagian inti
kegiatan pembelajaran berbasis kontekstual. Siswa tidak menerima pengetahuan
dan keterampilan hanya dari mengingat seperangkat fakta-fakta saja, tetapi berasal
dari pengalaman menemukan sendiri. Guru harus selalu merancang pembelajaran
yang bersumber dari penemuan. Misalkan saja untuk menulis paragraf deduktif dan
induktif, guru tidak menyampaikan fakta saja melalui ceramah, melainkan siswa diberikan
beberapa cotoh pengembangan paragraf. Siswa diajak memahami paragraf-paragraf
tersebut, kemudian membandingkannya. Siswa merumuskan perbedaan-perbedaan itu
kemudian menulis paragraf deduksi dan induksi. Tentunya, pembelajaran dirancang
dengan menarik dan menantang. Siswa dapat menemukan sendiri tanpa harus dari
buku.
Berikut ini
siklus penemuan:
a. Observasi
b. Bertanya
c. Mengajukan
dugaan
d. Pengumpulan
data
e. Penyimpulan
2. Pertanyaan
(Questioning)
Biasanya, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki
seseorang berawal dari sebuah pertanyaan. Untuk mengetahui apa yang dimaksud
paragraf deduksi dan induksi, biasanya muncul pertanyaan apa pragraf deduksi dan induksi itu? Apa perbedaan dari
kedua jenis paragraf itu? Barulah, seseorang membuka buku, bertanya, dan
mendiskusikan paragraf deduksi. Pertanyaan berguna untuk mendorong, membimbing,
dan menilai kemampuan siswa. Bagi siswa, pertanyaan berguna untuk menggali
informasi, mengecek informasi yang didapatnya, mengarahkan perhatian, dan
memastikan penemuan yang dilakukannya.
3. Konstruktivistik (Constructivism)
Siswa perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan
sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-idenya. Dengan
begitu, siswa dapat mengkonstruksikan gejala-gejala dengan pemikirannya
sendiri. Konstruktivistik merupakan landasan berpikir (filosofis) metode
kontekstual, yaitu bahwa pengetahuan dibangun sedikit demi sedikit yang
hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak ketika. Manusia
harus mengkonstruksikan pengetahuan dan memberi makna melalui pengalaman tidak
melalui ingatan dan hafalan saja.
Dalam belajar berbahasa, guru tentunya tidak
berceramah tentang cara menulis tetapi menyuruh siswa langsung menulis. Dari
pengalaman menulis itu, siswa akan tahu tentang apa dan bagaimana menulis itu.
Dengan begitu, siswa dapat mengkonstruksikan konsep dasar menulis itu.
Biasakanlah siswa melakukan, mengidentifikasi, mendemonstrasikan, menciptakan,
membaca langsung, berbicara, dan seterusnya.
Sebagai guru, perlu (1) menjadikan pengetahuan
bermakna dan relevan bagi siswa; (2) memberikan kesempatan siswa menemukan dan
menerapkan ide sendiri; dan (3) menyadarkan siswa agar menerapkan strategi
mereka sendiri dalam belajar. Dengan begitu, pengetahuan tumbuh dan berkembang
melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila
selalu diuji dengan pengalaman baru.
4. Pemodelan (Modeling)
Pernahkah guru menunjukkan tulisannya yang dimuat
dalam media cetak kepada siswa agar siswa menjadikannya teladan. Jika pernah
menulis di media cetak, berarti guru telah melakukan pemodelan. Pemodelan
adalah pemberian model agar siswa dapat belajar dari model tersebut. Bisa jadi,
guru memberikan model karya tulis, model paragraf, dan jenis-jenis karangan
lainnya. Dari model itu, siswa mengidentifikasi selanjutnya membuat seperti
model yang ditunjukkan.
Dalam kontekstual, guru bukanlah model satu-satunya.
Model dapat diambil dari mana saja. Model dapat dirancang dengan melibatkan
siswa. Seorang siswa ditunjuk untuk menjadi model di hadapan teman lainnya,
misalnya untuk mempresentasikan karya tulis tertentu. Dapat pula, model
didatangkan dari luar kelas, misalnya, penulis buku, wartawan, dan profesi
lainnya datang ke kelas untuk bercerita tentang proses kreatifnya kemudian
siswa menulis tugas yang diberikan oleh guru.
5. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Kerjasama dengan orang lain dapat memberikan
pengalaman belajar bagi siswa. Siswa dapat mengembangkan pengalaman belajarnya
setelah berdiskusi dengan temannya. Masyarakat belajar menyarankan bahwa hasil
pembelajaran diperoleh dari kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar
diperoleh dari bertukar pendapat dengan temannya, dengan orang lain, antara
yang tahu dengan yang belum tahu, di ruang kelas, di ruang lain, di halaman, di
pasar, atau di mana pun.
Dalam kelas yang kontekstual, guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar. Siswa belajar di kelompok
yang anggota-anggotanya diharapkan heterogen. Yang pandai mengajari yang lemah.
Yang tahu berada di kelompok yang belum tahu. Yang cepat menangkap berada satu
kelompok dengan yang lambat. Kelompok siswa diupayakan dapat selalu bervariasi
dari segi apapun.
Masyarakat belajar dapat terjadi jika terjadi komunikasi
dua arah atau lebih. guru berdialog dengan siswa bukan berarti Masyarakat
Belajar. Kemudian, kegiatan belajar akan berjalan dengan baik apabila kelompok
tidak didominasi anggotanya. Semua anggota kelompok upayakan terbuka, bebas
berbicara, dan saling aktif. Fungsi guru sebagai fasilitator dibutuhkan dalam
konteks Masyarakat Belajar tersebut.
6. Penilaian Autentik (Authentic Assessment)
Perkembangan belajar siswa tentunya perlu guru ketahui.
Dalam kontekstual, perkembangan belajar siswa dapat diketahui melalui
pengumpulan data dari aktivitas belajar siswa secara langsung di kelas.
Penilaian tidak dilakukan di belakang meja atau di rumah saja tetapi juga di
saat siswa aktif belajar di kelas. Dengan begitu, tidak akan ada komentar dari
siswa bahwa siswa X meskipun tidak banyak berbicara di kelas ternyata nilainya
bagus. Sedangkan siswa yang banyak mendebat, berbicara, dan bercerita
mendapatkan nilai rendah karena dalam ujian tulis bernilai rendah. Untuk itu, guru
perlu mengupayakan nilai siswa berasal dari sesuatu yang autentik.
Data yang diperoleh dari siswa haruslah dari situasi
nyata. Nilai yang diperoleh siswa memang mencerminkan keadaan siswa yang
sebenarnya. Dapatkah Guru berlaku seperti itu? Jawabnya, guru harus dapat
memberikan penilaian autentik jika menginginkan menjadi guru yang ekselen.
Penilaian autentik dapat diperoleh melalui projek,
PR, kuis, karya siswa, presentasi, demonstrasi, laporan, jurnal, hasil tes
tulis, karya tulis, atau yang lainnya. Dengan begitu, penilaian autentik
benar-benar menggambarkan proses siswa dalam belajar dari awal sampai akhir.
Penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan, terintegrasi, terbuka, dan
terus-menerus.
7. Refleksi (Reflection)
Yang
terakhir dalam metode kontekstual, refleksi sangat dibutuhkan. Pernakah guru mengungkapkan
kembali apa-apa yang pernah dialami sebelumnya? Jika pernah, berarti guru telah
melakukan refleksi. Ungkapan kembali itu tentunya dengan kalimat sendiri, singkat,
atau bahkan dalam bentuk nyanyian. Jadi, refleksi adalah kegiatan merenungkan
kembali, mengingat kembali, mengkonstruksi ulang, atau membuat pengalaman.
Dengan begitu, kalau refIeksi diterapkan kepada siswa di kelas, siswa berarti
telah mengalami pengendapan pengetahuan atau keterampilan yang telah
dilakukannya.
Refleksi
merupakan respon terhadap pengalaman yang telah dilakukan, aktivitas yang baru
dijalani, dan pengetahuan yang baru saja diterima. Dengan merefleksikan
sesuatu, siswa merasa memperoleh sesuatu yang berguna bagi dirinya tentang apa
yang baru dipelajari. Refleksi tersebut dapat dilakukan per bagian, di akhir
jam pelajaran, di akhir bab/tema, atau dalam kesempatan apapun. Realisasi
refleksi dapat berupa pernyataan spontan siswa tentang apa yang diperolehnya
hari itu, lagu, puisi, kata kunci, cerita siswa, cerita guru, catatan di lembar
kertas, diskusi, dan yang lain-lainnya.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sesuai dengan pembahasan maka dirumuskan kesimpulan sebagai berikut.
1.
Pembelajaran kontekstual merupakan
salah satu pendekatan pembelajaran komprehensif yang menghubungkan langsung
antara materi pelajaran dengan konteks kehidupan nyata di mana siswa berada.
Melalui pembelajaran kontekstual, siswa dapat lebih aktif dan kreatif, dapat
memperoleh pengalaman belajar yang lebih bermakna, dapat menguasai materi
secara mendalam dan luas, serta mengetahui aplikasinya secara langsung dengan
konteks kehidupan sehari-hari.
2.
Tujuh elemen penting, yaitu: penemuan
(inquiry), pertanyaan (questioning), konstruktivistik (constructivism),
pemodelan (modeling), masyarakat
belajar (learning community), penilaian autentik (authentic
assessment), dan refleksi (reflection).
3.
Peran guru dalam pembelajaran
kontekstual sangat penting, terutama dalam merancang skenario semua aktivitas
pembelajaran baik di kelas maupun di luar kelas. Aktivitas guru dalam
pembelajaran lebih pada mengarahkan semua aktivitas siswa untuk belajar secara
langsung sesuai komponen-komponen pembelajaran kontekstual, sehingga guru
cenderung sebagai fasilitator.
B. Saran-Saran
Adapun
manfaat penelitian yang diharapkan dalam penelitian ini adalah:
1. Sebagai
bahan informasi tentang konsep pembelajaran kontekstual.
2. Sebagai
bahan pertimbangan bagi guru untuk lebih meningkatkan efektivitas penerapan
pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis.
3. Memberikan
motivasi kepada siswa untuk lebih meningkatkan kemampuan yang dimiliki dalam
pembelajaran menulis.
DAFTAR PUSTAKA
Cecep R. 2002. Pembelajaran
Kontekstual. Dit. PLP Depdiknas Jakarta.
Jatmiko, B., Widodo, W., dan Wasis. 2001. Evaluasi dalam
Pembelajaran IPA-Fisika. Modul Pelatihan Terintegrasi Guru Fisika. Proyek
JSE-2, Depdiknas. Jakarta .
Nurhadi. 2003. Pembelajaran
Kontekstual. UM Malang .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar